Nama tersebut diambil dari cerita wayang yang menggambarkan seorang tokoh yang tidak mengikuti perang Balatayuda tetapi meninggal dalam keadaan moksa.Â
Ramalan itu berarti Adisutjipto tidak akan berumur panjang. Pemberian nama ini seolah menjadi pertanda nasib Adisutjipto. Dia meninggal saat melakukan misi di udara ketika dia masih muda.
3. Keinginannya Menjadi Seorang Penerbang Sempat Terhalang Restu Orang Tua
Saat lulus Meer Uitgebreid Camp Onderwijs (MULO), Adisutjipto ingin mengikuti ujian sekolah penerbangan di Kalijati. Permintaan ini ditolak oleh ayahnya sehingga ia masuk ke Algeemene Middelbare School (AMS) di Semarang.Â
Setelah lulus pada tahun 1936, Adisutjipto meminta kembali ayahnya untuk bersekolah di sekolah militer di Breda, Belanda. Sebaliknya, ayahnya menasihatinya untuk belajar kedokteran.Â
Adisutjipto pun mengikuti nasihat ayahnya. Ia belajar di Genneskundige Hooge School di Jakarta. Selama masa studinya, Adisutjipto diam-diam lulus masuk Sekolah Militaire Luchtvaart Opleidings atau Sekolah Penerbangan Militer di Kalijati.Â
Ia lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Karena hasil ini, ayahnya akhirnya mengizinkan Adisutjipto untuk belajar di sekolah penerbangan.
4. Salah Satu dari Dua Kadet Pribumi yang Mendapatkan Gelar Groot Militaire Brevet atau Brevet Penerbang Tingkat Atas
Adisutjipto diterima sebagai kadet pilot setelah menyelesaikan jenjang pertama. Bersama sembilan siswa lainnya, Adisutjipto mencapai level Vaandrig Kortverbang Vlieger atau calon letnan muda untuk posisi pilot dengan ikatan pendek.Â
Namun karena masih adanya diskriminasi antara Belanda dan Indonesia pada saat itu, hanya lima dari 10 siswa yang lulus ujian. Kelima orang ini telah mencapai level Klein Militaire Brevet atau Brevet Penerbang Tingkat Pertama.Â
Dari lima orang tersebut, hanya dua orang yang dapat menerima Groot Militaire Brevet atau Brevet Penerbangan Tingkat Atas, yaitu Agustinus Adisutjipto dan Sambudjo Hurip.