Dalam dunia hukum di Indonesia, kita sering melihat berbagai perdebatan, berbagai masalah dan berbagai kegilaan yang sudah terjadi. Kegilaan yang bukan hanya berada di dunia nyata tetapi juga di dunia maya. Banyak hukum yang mencoba mengatur untuk membatasi kegilaan itu salah satu contohnya ialah dengan dibuatnya Undang-undang.
     Undang-undang yang dibuat sudah meliputi berbagai macam seperti Undang-undang Lingkungan, Undang-undang Pendidikan, Undang-undang Pajak hingga dibuatnya undang-undang yang mengatur dunia maya salah satunya yakni Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Undang-undang seharusnya mampu melindungi ,namun apakah hal itu berlaku bagi Undang-undang ITE?
     Sebelum mempertanyakan UU ITE, apakah kalian tau apa itu UU ITE? UU ITE atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008 adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. Undang-undang ini mengatur bagaimana seseorang melakukan kegiatan didalam dunia maya termasuk berekspresi dalam dunia maya seperti dalam media social. Beberapa perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1.konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);
2. akses ilegal (Pasal 30);
3. intersepsi ilegal (Pasal 31);
4. gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
5. gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);
6. penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE).
     Pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai UU ITE yang berhubungan dengan pelanggaran mengenai konten illegal atau hal yang berhubungan dengan pencemaran nama baik. UU ITE mengharapkan sebuah perubahan atau sebuah kesadaran akan kebebasan akan tetapi seringkali orang-orang menganggap bahwa UU ITE hanya membatasi dan tidak mampu menemukan solusi.Â
     Pembatasan atau pengaturan yang diberikan oleh undang-undang ini menimbulkan beberapa perdebatan dimana bagi beberapa orang, di satu sisi undang-undang ini justru membuat seseorang tidak memiliki kebebasan terutama kebebasan dalam berpendapat, namun di sisi lain bagi beberapa orang undang-undang ini mampu melindungi dan menegakkan keadilan bagi mereka. Namun pertanyaannya sekarang ialah benarkah UU ini mampu melindungi seluruh warga atau hanya mau melindungi sebuah kelompok saja?
     UU ITE dapat memberikan dampak positif dimana UU ini melindungi orang dari dunia maya yang begitu kejam seperti pencemaran nama baik, kata-kata kasar, teror, dan sebagainya. Dalam Pasal 27 dijelaskan bahwa UU ITE ini bukan hanya menjerat pelaku pembuatnya tetapi juga mereka yang mendistribusikan, mentransmisikan, dan atau membuat konten tersebut dapat diakses secara elektronik. Sebagai contohnya ialah seorang artis, seorang artis pasti memiliki banyak pendukung namun juga banyak pembenci.Â
      Para pembenci tentu saja ingin menjatuhkan artis tersebut, aksi kebencian dapat dilakukan melalui berbagai media terutama media social. Dalam kasus tersebut, UU ITE berperan melindungi warga negara dari aksi kebencian yang mungkin bisa membahayakannya dengan cara menangkap orang yang melakukan aksi kebencian secara berlebihan, mencegah penyebaran aksi kebencian, mencegah pencemaran nama baik yang tidak benar. Peran inilah yang diharapkan oleh pemerintah dalam membuat UU ITE dimana setiap warganya bisa merasa aman.
      Namun di masa sekarang, ternyata UU ITE justru mengalami penyalahgunaan yang justru menyengsarakan atau menyulitkan rakyatnya terutama rakyat miskin dikarenakan UU ini tidak mampu menafsirkan isinya sendiri. Ketidakmampuan dalam menafsirkan isinya sendiri ini disebabkan oleh pasal yang sering disebut pasal karet. Pasal karet adalah sebutan untuk sebuah pasal atau undang-undang yang dianggap tak memiliki tolak ukur yang jelas atau rancu. Adanya pasal karet inilah yang menimbulkan sebuah ketidakadilan seperti yang terlihat dalam kasus Baiq Nuril. Kasus Baiq Nuril ini bermula dimana ia seorang karyawan dan ia merekam percakapan kepala sekolah yang dianggap kurang pantas. Baiq Nuril tidak melporkannya kepada polisi dan hanya menceritakannya kepada temannya, namun temannya ini melaporkan percakapan itu kepda polisi dan menyebabkan kepala sekolah ini melaporkan Baiq Nuril dengan laporan bahwa ia melanggar UU ITE hingga akhirnya Baiq Nuril dijatuhi hukuman penjara dan denda sebesar 500 juta.
      Dari kasus tersebut dapat dikatakan bahwa UU ITE mengalami kesalahan dalam penafsiran isinya, dimana Baiq Nuril tidak menyebarluaskan percakapan tersebut melainkan hanya merekamnya saja. Selain itu, dalam hal ini tidak dipertimbangkan atau ditinjau dari sisi lain dimana memang seharusnya percakapan ini dilaporkan kepada pihak yang berwenang karena isinya yang tidak pantas dan dengan pemberian hukuman kepada Baiq Nuril ini justru memperlihatkan bahwa percakapan yang berisi pelecehan adalah hal yang benar.Â
      Penilaian kasus ini juga dapat dinilai bahwa UU ITE hanya menafsirkan masalah dari sisi yang lebih berkuasa dan tidak berusaha untuk memperjuangkan kebenaran dari yang lemah. Hal tersebut membuat setiap orang yang mengalami pelecehan atau mengetahui sebuah pelecehan tidak berani untuk mengungkapkan yang benar.
      Melihat semua itu, timbul pertanyaan perlukah dunia maya diatur dengan UU ITE? Dunia maya terutama media social merupakan salah satu tempat setiap orang untuk berekspresi atau mengungkapkan apa yang dirasakannya. Dengan adanya UU ITE yang membatasi, hal ini berarti bahwa hak asasi manusia yakni kebebasan menjadi tidak terwujud.  Pemikiran bahwa UU ITE mengurangi atau membatasi seseorang dalam berekspresi dan menyatakan pendapatnya sering dibicarakan, akan tetapi pembatasan berekspresi dapat dilakukan dalam suatu negara dengan syarat negara harus memenuhi 2 prinsip yakni :
- Prinsip Proporsionalitas
Yakni apabila ada tindakan ada yang tidak merusak hak dari kebebasan itu maka pembatasan kebebasan tersebut perlu dilakukan. arti tindakan pembatasan itu dianggap sah sepanjang berdasarkan hukum dan memiliki tujuan yang dibenarkan oleh hukum.
- Prinsip Kebutuhan
Yakni pembatasan kebebasan perlu dilakukan selama hal itu memang dibutuhkan.
Bukan berarti media social tidak perlu dibatasi, akan tetapi pembatasan dan pengawasan yang dilakukan perlu diperhatikan contohnya dengan pembuatan undang-undang yang benar-benar mampu melindungi rakyat dan bukan menghilangkan kebebasan bahkan memberikan rasa takut dalam berekspresi, merevisi undang-undang terutama menghilangkan pasal-pasal karet yang membuat tujuan dari undang-undang itu tidak sesuai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H