Jurnalisme jejaring sosial umumnya mengejar faktor kecepatan dan aktualitas. Karena faktor karakter pembaca seperti yang disebutkan di atas, jurnalis memproduksi konten yang cenderung singkat pula. Untuk itu jurnalis dituntut serba bisa atau multi tasking agar dapat memproduksi berita yang aktual, akurat dan menarik. Namun, karena kebutuhan bisnis dan ingin konten beritanya dibaca oleh banyak orang, tak jarang jurnalis mengabaikan prinsip-prinsip jurnalisme.
Ketika jurnalis mengambil informasi atau isu dari media sosial, memungkinkan terabaikannya akurasi berita karena mengejar kecepatan. Inti dari jurnalisme adalah disiplin untuk melakukan verifikasi (Ishwara, 2005). Disiplin melakukan verifikasi berlaku juga bagi jurnalisme jejaring sosial. Justru jurnalisme jejaring sosial yang sangat rentan terhadap verifikasi informasi.
Sebagai contoh yaitu JawaPos.com sebagai media yang pernah menerbitkan artikel yang membuat kegaduhan terkait Muslim Cyer Army (MCA) dan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Proses produksi artikel tersebut tidak memenuhi standar karena hanya berfokus pada faktor kecepatan. Artiket tersebut juga tidak cover both side, rujukan utamanya anonim.
Untuk itu jurnalis harus mencari banyak saksi, sebanyak mungkin sumber atau bertanya kepada berbagai pihak untuk komentar. Disiplin verifikasi menandakan adanya standar yang profesional agar suatu berita atau artikel layak dipublikasikan. Dewan Pers mengatakan informasi di jejaring sosial harus dilengkapi dengan kerja jurnalisme.
Karena pentingnya disiplin verifikasi dan untuk menjaga agar produksi berita berpegang teguh pada prinsip jurnalisme, Dewan Pers menggandeng tiga organisasi profesi jurnalis.Â
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menggencarkan anggotanya untuk selalu disiplin verifikasi, klarifikasi dan konfirmasi. Ketiga organisasi tersebut dinilai memiliki tanggung jawab untuk memonitor anggotanya.
Kelimpahan informasi di jejaring sosial merefleksikan bahwa ruang informasi kini bukan hanya milik jurnalis dan media. Jurnalis dan media harus menghadapi fakta bahwa mereka bukan lagi pihak pertama yang selalu menyebarkan informasi.Â
Khalayak atau warga biasa kini juga memiliki ruang informasi. Khalayak dapat dilibatkan dalam proses pembuatan konten di jejaring sosial. Perusahaan media atau jurnalis pun dapat menerapkan user-generated content. User-generated content artinya konten yang dibuat oleh pengguna atau khalayak.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa jejaring sosial memiliki pengaruh bagi jurnalis dalam mengangkat isu. Hal tersebut menunjukkan bahwa apa yang dimunculkan oleh berita tidak murni berasal dari jurnalis, melainkan terdapat campur tangan khalayak. Jejaring sosial juga membuka peluang terjadinya interaksi khalayak dengan berita.Â
Perusahaan media atau jurnalis dapat melibatkan khalayak untuk aktif dalam produksi konten berita. Jurnalisme jejaring sosial juga menuntut jurnalis untuk menguasai banyak aspek, mulai dari pengumpulan informasi, penulisan berita, fotografi, pembuatan video hingga berkomunikasi dengan khalayak. Semua aspek tersebut bila dikombinasikan akan menghasilkan produk jurnalisme yang layak untuk dipublikasikan.
Referensi: