Mohon tunggu...
Verillia Astriani
Verillia Astriani Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

hallo, saya mahasiswa ilmu komunikasi di Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mendaki Gunung, Menjadi Trend Atau Obat Patah Hati Bagi Kalangan Gen Z?

15 November 2024   10:10 Diperbarui: 15 November 2024   10:19 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: akun instagram @arjuno.welirang

Pendakian gunung di era saat ini tidak lagi menjadi hal yang langka, akan tetapi sudah banyak digeluti oleh kalangan muda atau generasi Z (Gen Z) sampai orang tua, tidak hanya dijadikan sekedar hobi dan kesenangan akan tatapi dijadikan sebagai salah satu bentuk self healing bahkan prestasi oleh beberapa kalangan.

Fenomena mendaki gunung saat ini tak sedikit orang menganggapnya sebagai bentuk Fear of Missing Out (FOMO), di mana mereka cenderung mengikuti tren untuk tidak merasa tertinggal. Sebenarnya tidak ada kata “FOMO” untuk mengenal alam lebih jauh, hanya saja pendakian itu harus disertai dengan persiapan yang matang, mulai dari fisik, logistik dan perlengkapannya. Tidak ada salahnya ‘kan menjadikan pendakian untuk hal positif di zaman sekarang? Daripada melakukan kegiatan yang negatif.

Alasan setiap individu dalam mendaki gunung berbeda-beda. Di antaranya adalah mencari ketenangan, mencoba hal baru, melatih kemampuan diri dalam survive di alam liar, sebagai pelampiasan dari masalah-masalah di kehidupannya, seperti kegagalan dalam karir dan masalah percintaan. Banyak dari kalangan anak muda yang melakukan pendakian sebagai pelampiasan dari rasa kecewa yang dihadapinya.

Sumber gambar: akun tiktok @dilzx999
Sumber gambar: akun tiktok @dilzx999

Siapa sih yang gak pernah ngalamin patah hati? Semua pasti pernah merasain, dan rasanya tuh kayak dunia runtuh. Tapi, tenang aja! Buat kamu yang lagi berusaha move on, mendaki gunung bisa jadi pilihan yang pas banget. Aktivitas ini bukan hanya menyegarkan tubuh, tapi juga bisa menyembuhkan luka hati yang mendalam.

Gen Z sering menjadikan sakit hati untuk alasan medaki gunung, bahkan sudah banyak sekali pelesetan kata tentang istilah-istilah pendaki. Mulai dari kepanjangan dari MPDL yang seharusnya Meter Diatas Permukaan Laut, kini menjadi Melupakan diatas permukaan laut, mendaki dengan perasaan luka, melepas dengan perlahan lahan, melihatnya dengan pasangan lain, dsb.

Masih banyak trend-trend di sosial media seperti Tiktok yang menjadikan pendakian gunung untuk obat sakit hati.

 Contohnya banyak sekali yang mengunggah foto/video dengan caption seperti

“naik gunung ga capek kok, asal lagi sakit hati aja”

 “yang sakit hatinya, yang disiksa kakinya”

“sakit perut makan kangkung, sakit hati naik gunung” dan masih banyak lagi”.

Sumber gambar: akun instagram @verilliastr
Sumber gambar: akun instagram @verilliastr

Mendaki gunung sebagai obat patah hati mungkin kedengeran klise, tapi untuk kita yang hidupnya serba digital, ini bisa menjadi alternatif yang sangat keren. Mendaki memberi pelarian yang sehat, waktu untuk refleksi diri, meningkatkan kepercayaan diri, dan menemukan kebebasan sejati. Jadi, kalau hati lagi remuk, tidak usah ragu untuk kemas ransel dan pergi ke gunung terdekat. Biarkan alam bantu menyembuhkan luka dan menemukan diri kamu lagi.

Hidup ini kayak pendakian, dan setiap puncak yang kamu taklukkan adalah bukti kalau kamu bisa hadapi apa pun yang datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun