Kapten Pierre Tendean lahir pada 21 Februari 1939 di Jakarta. Ia berasal dari keluarga terhormat; ayahnya, dr. A.L. Tendean, adalah seorang dokter yang berprofesi di berbagai lokasi di Indonesia, sementara ibunya, Cornell M.E., memiliki keturunan Perancis. Keluarga Tendean dikenal memiliki tradisi intelektual dan profesional yang tinggi.
Pierre Tendean menempuh pendidikan di Akademi Militer Jurusan Teknik (ATIKAD) mulai tahun 1958, di mana ia menunjukkan bakat yang luar biasa. Setelah lulus pada tahun 1962, ia menjabat sebagai Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan. Selain itu, ia juga terlibat dalam operasi militer untuk menumpas pemberontakan PRRI di Sumatra dan berpartisipasi dalam konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963. Karirnya terus berkembang dengan promosi pangkat menjadi Letnan Satu dan menjabat sebagai pengawal pribadi Jenderal Abdul Haris Nasution.
Pada malam 30 September 1965, ketika peristiwa Gerakan 30 September/PKI terjadi, Pierre Tendean terbangun mendengar keributan di sekitar kediaman Jenderal A.H. Nasution. Saat pasukan G30S/PKI mencoba menculik Jenderal Nasution, Pierre berusaha menolongnya. Namun, ia ditangkap oleh pasukan tersebut karena disangka sebagai Jenderal Nasution. Tendean kemudian diculik dan dibunuh oleh anggota PKI setelah mengalami penyiksaan. Jasadnya ditemukan kemudian dimasukkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta.
Sebagai penghormatan atas pengorbanannya, Kapten Pierre Tendean dianugerahi kenaikan pangkat anumerta dan gelar Pahlawan Revolusi berdasarkan Keputusan Presiden pada tahun 1965. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Nama dan jasanya tetap dikenang sebagai inspirasi bagi generasi mendatang untuk terus berjuang demi keadilan dan kedaulatan bangsa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H