Mohon tunggu...
Veronika Dina
Veronika Dina Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Children in Danger!

1 Februari 2017   11:16 Diperbarui: 1 Februari 2017   11:33 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berinteraksi dengan anak kecil adalah sesuatu yang menyenangkan bagi saya, dan juga mungkin bagi Anda. Kepolosan dan tingkah mereka seringkali menggemaskan. Sejatinya setiap orang memang melalui tahap play stage, baik saya ataupun Anda pernah menggemaskan di eranya. Tapi saya kira anak-anak di era digital (Generasi Z akhir dan Generasi Alpha awal) tidak lagi sepolos anak-anak era 90'an. Mengapa? 

Anak-anak era 90'an pada umumnya mengenal permainan dalam bentuk permainan-permainan tradisional yang membuat mereka bisa berinteraksi secara langsung dengan teman-teman sebayanya. Di desa anak-anak bermain ke sawah, ladang, mengambil mangga milik tetangga, bermain petak umpet, dan sebagainya. Di kota anak-anak bermain mobil remote control, sepeda keliling komplek, atau sepak bola di gang sekitar rumah, dan sebagainya. Ada interaksi sosial secara langsung yang membuat mereka memiliki jiwa sosial yang lebih tinggi daripada anak-anak zaman sekarang. Bukan berarti generasi Z dan Alpha tidak berjiwa sosial, bukan. Mari kita melihat lebih jauh lagi.

Setiap hari Selasa dan Kamis saya mengajar calistung (Membaca, Menulis, Berhitung) di sebuah lembaga bimbingan belajar di Depok. Awalnya saya hanya mengajar dua orang anak, satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Kemudian kemarin, ditengah-tengah jam mengajar ternyata ada satu orang anak laki-laki lagi yang ikut kelas calistung. Awalnya dia bertingkah seperti anak-anak pada umumnya. Ia berani berkenalan dengan dua temannya yang lebih dulu duduk di kelas. Bahkan tanpa malu-malu menanyakan nama saya. Saya acungi jempol untuk kemampuan beradaptasinya. Namun, kemudian saya tersentak kaget dan speechless mendengar kalimat yang keluar dari mulut kecilnya. 

Ketika itu saya tes dia menyebutkan huruf A-Z. Ia bisa menyebutkannya dengan lancar. Kemudian saya menyuruhnya mencoba mengikuti deretan huruf vokal yang sudah saya tulis di selembar kertas. Saat itulah kalimat "What the f*ck!" terucap. Awalnya, walaupun saya kaget tapi saya masih mengira salah dengar, tapi kemudian kalimat itu terdengar lagi ketika saya memintanya menulis huruf-huruf itu dengan rapi. Spontan saya langsung memperingatkan dia bahwa itu bukan kata-kata yang baik untuk diucapkan. Saya bingung darimana anak sekecil ini mendengar kalimat itu. Saya yakin dia hanya mengikuti seseorang dan ia tidak tahu betul apa artinya. Anak-anak lain menanyakan arti kalimat itu, saya pun hanya bisa bilang itu bukan kalimat yang baik. 

Di sela-sela waktu belajar, saya ajak ia mengobrol. Ternyata dia sangat suka menonton Youtube dan bermain games bersama kakaknya yang masih kelas 2 SD. Saya tidak menanyakan lebih jauh tentang apa yang dia tonton.
X : kamu nonton Youtube-nya sama siapa?

Y : sendiri di iPad aku. Tapi kadang-kadang di iPad kakak aku.

X : Gak sama mama atau papa nontonnya?

Y : enggak. Kan belum pulang.

Saya pikir malang sekali nasib anak ini. Ia dijejali teknologi terkini, diberikan kebebasan (menurut saya kebablasan) untuk bermain, tapi tidak mendapatkan afeksi langsung dari orang tuanya. Jujur, pada saat itu juga saya merasa prihatin dan rasanya ingin protes pada orang tua yang pola asuhnya demikian. Tapi kemudian saya ingat bahwa saya masih mahasiswa dan belum merasakan jadi orang tua. 

Kemampuan saya terbatas. Maka, melalui tulisan ini saya ingin mengingatkan bahayanya membiarkan anak bermain (dalam hal ini menonton dan bermain games) jika tidak didampingi orang tua. Kita tahu bahwa berbagai macam konten dapat diakses dengan mudah dari internet, games apapun dapat diunduh dan dimainkan oleh siapapun. Jangan lupa bahwa, rasa ingin tahu (curiosity) anak-anak sangat tinggi, dan karena ia belum bisa membedakan yang benar dan salah maka pontensi ia akan meniru tindakan atau perkataan yang dia lihat dan ia dengar sangat besar. 

Satu lagi kegelisahan saya adalah ketika anak-anak mengakses situs-situs yang mengandung unsur pornografi. Karena konten porno yang diakses secara terus menerus dapat merusak otak. Apakah ini tidak bahaya untuk masa depan bangsa kita? Apakah kita mau dipimpin oleh orang-orang yang suka menghujat? Apakah kita mau dipimpin oleh orang-orang yang cabul? Tentu tidak.  Memberikan gadget  untuk anak memang hak setiap orang tua, namun orang tua pun memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak mereka serta memberikan kasih sayang sepenuhnya untuk anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun