Vera Verawati
Bayu, nafasmu lelapkan para penghuni hutan hujan. Suara langkah-langkah seperti teredam oleh rimbun teduh tubuh-tubuh kokoh. putra-putri langit menawarkan surga yang tak kentara. Walau semakin memasuki ragamu, semakin redup cahaya tapi tidak dengan cinta-Nya.
Ranting-ranting kering berderak terinjak, nyatakan sebuah kehadiran dan berharap sambutan penuh hangat penerimaan. Walau sebagian penduduk kasat mata merasa terusik, tapi ijinkan sejenak anak-anak adam membaca bahasa ibu bumi.
Simfoni terpantul pada dahan-dahan yang dihinggapi gulma, isyaratkan betapa kau dan aku tak terpisahkan.Â
Pastikan berdampingan atau beriringan saling menjaga. Terdepan bukan untuk sebuah kemenangan, dan terakhir tidak berarti kekalahan.
Nyanyikan saja kidung-kidung bumantara, ceritakan putihnya awan itu serupa lembut kulit bidadari. Berpura-puralah tuli, ketika suara auman dari kejauhan pamerkan sebuah kekuasaan. Menari sajalah bersama lincahnya berpasang tanduk yang malu-malu mengintip dari balik ilalang.
Tulang-tulang berbalut sedikit daging tergopoh menaiki punggung gunung, sebagian jemari mencengkram kuatkan pijakan dan genggaman. Betapa rindu seolah tak lagi tertahan, bayangan sepasang wajah keras dengan busana penuh teka-teki.
Memberi kuat tak pedui jarak, aroma humus menyusup tanpa ijin. Meregangkan jantung dan hati. Beberapa saat  sesak oleh kepasrahan yang dipaksakan.Â
Pada perjalanan kali ini, dari tanah, udara, daun-daun, panggilan rimba. Mereka berdialog dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh hati nan murni.
Tidak untuk mengabaikan yang sedari tiba mencoba menyapa, lewat daun-daun yang meliuk menggoda, sedang angin diam tak ingin mengusik. Mungkin karena bahasa mereka bersiat rahasia.
Satu bait sajak rimba terbaca, dari hijaunya lumut dan wewangian bunga-bunga hutan. Tidak saja keindahan tak terlukiskan, satu permohonan tertulis pada usia tegak berdirinya ayah kayu bertubuh bongsor.