Mohon tunggu...
Vera Verawati
Vera Verawati Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary woman

Kopi dan buku, serta menulis apa pun yang tergerak hati.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Dialog Rimba

20 April 2024   20:19 Diperbarui: 20 April 2024   20:29 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Vera Verawati

Bayu, nafasmu lelapkan para penghuni hutan hujan. Suara langkah-langkah seperti teredam oleh rimbun teduh tubuh-tubuh kokoh. putra-putri langit menawarkan surga yang tak kentara. Walau semakin memasuki ragamu, semakin redup cahaya tapi tidak dengan cinta-Nya.


Ranting-ranting kering berderak terinjak, nyatakan sebuah kehadiran dan berharap sambutan penuh hangat penerimaan. Walau sebagian penduduk kasat mata merasa terusik, tapi ijinkan sejenak anak-anak adam membaca bahasa ibu bumi.
Simfoni terpantul pada dahan-dahan yang dihinggapi gulma, isyaratkan betapa kau dan aku tak terpisahkan. 

Pastikan berdampingan atau beriringan saling menjaga. Terdepan bukan untuk sebuah kemenangan, dan terakhir tidak berarti kekalahan.


Nyanyikan saja kidung-kidung bumantara, ceritakan putihnya awan itu serupa lembut kulit bidadari. Berpura-puralah tuli, ketika suara auman dari kejauhan pamerkan sebuah kekuasaan. Menari sajalah bersama lincahnya berpasang tanduk yang malu-malu mengintip dari balik ilalang.


Tulang-tulang berbalut sedikit daging tergopoh menaiki punggung gunung, sebagian jemari mencengkram kuatkan pijakan dan genggaman. Betapa rindu seolah tak lagi tertahan, bayangan sepasang wajah keras dengan busana penuh teka-teki.


Memberi kuat tak pedui jarak, aroma humus menyusup tanpa ijin. Meregangkan jantung dan hati. Beberapa saat  sesak oleh kepasrahan yang dipaksakan. 

Pada perjalanan kali ini, dari tanah, udara, daun-daun, panggilan rimba. Mereka berdialog dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh hati nan murni.


Tidak untuk mengabaikan yang sedari tiba mencoba menyapa, lewat daun-daun yang meliuk menggoda, sedang angin diam tak ingin mengusik. Mungkin karena bahasa mereka bersiat rahasia.


Satu bait sajak rimba terbaca, dari hijaunya lumut dan wewangian bunga-bunga hutan. Tidak saja keindahan tak terlukiskan, satu permohonan tertulis pada usia tegak berdirinya ayah kayu bertubuh bongsor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun