Film ini  tak sengaja saya temukan, ketika iseng mencari film Lima Penjuru Mesjid, ya ternyata film dalam versi full, tak juga ditemukan. Membaca beberapa komentar yang sudah menontonnya, menarik saya untuk melihat secara keseluruhan. Ternyata, film ini benar-benar bagus. Konsep kita tentang rumah ibadah selama ini ternyata sebagian masih keliru.
Tokoh Arul seorang anak muda yang lari dari rumah, dan conba tidur dibeberapa masjid, hingga terdampar di sebuah mushola lapuk. Dari sanalah cerita berawal, bagaimana Arul bertemu gambaran islam agama yang dirindukannya. Hingga semakin menguatkan keyakinannnya. Dari Pak Kiai Bukhori sebuah kalimat menggugahnya, "Rasulullah tidak pernah mencontohkan untuk meminta-minta."
Karena begitu banyak di antara kita yang lebih mementingkan betapa megahnya bangunan tempat beribadah dengan asitektur terbaik. Tapi tanpa keseimbangan pembangunan kualitas umat. Betapa miris ketika tak jauh dari rumah ibadah, masih ada suara-suara lapar atau tertangkapnya pencuri yang dengan alasan lapar melakukannya.
Sungguh, sebuah alur yang bagus. Proses pencarian makna sebuah keyakinan, tidak saja berdasar turun temurun. Tapi mencari pemahaman yang benar seperti yang diajarkan para pemukanya. Pentingnya memahami apa saja yang sudah diajarkan para orang tua, tapi lebih penting lagi mencari sendiri dengan membaca teliti, tidak saja dari sumbernya melainkan dari kehidupan sehari-hari sebagai upaya pengaplikasian.
Pertanyaan yang sampai saat ini sering terlintas di kepala saya, bukankah setiap hari-hari tertentu kotak amal setiap rumah ibadah terus bertambah tanpa terkecuali. Bahkan disaat badai pandemic, tapi masih banyak umat yang ribut tak dapat subsidi dari pemerintah. Angka stunting terus meningkat. Tidakkah takut ketika gambaran neraka dideskripsikan dalam Alqur'an dan mempertanyakan penggunaan dana umat tersebut.
Bagaimana pertanggungjawaban para pengurusnya, apakah dana tersebut habis secara berkala hanya untuk pemeliharaan. Bila saja, semua mesjid atau mushola memiliki prinsip seperti tokoh Kiai Bukhori dalam film "Atap Padang Mashar", saya rasa tak ada penjara yang dimasuki dengan alasan maling karena kelaparan.
Tak ada saudara saling jarah, karena apa yang mereka butuhkan akan selalu terbuka dibantu oleh rumah ibadah. Dan tak ada yang takut masuk rumah ibadah karena dianggap tidak suci. Bukankah di mata Tuhan, semua manusia sama, yang membedakannya hanya amalannya. Mari berandai-andai sejenak.
Jika rumah ibadah dalam film ini digambarkan mushola/mesjid, tidak saja berfungsi sebagai bangunan yang menampung umat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, tapi sebagian dikunci setiap saat karena kekhawatiran isi di dalamnya hilang. Secara perlahan, rubah mindset tesebut. Dengan menjadikan rumah ibadah sebenar-benarnya rumah (tempat berkumpul sodara, saling mengurangi duka, bahu membahu mengatasinya).
Sutradara M. Dedy Vanshopi sekaligus penulis, telah berhasil menghidupkan film serta mengemas pesan dengan sangat apik. Menggambarkan rumah ibadah sebagai tempat di mana setiap umat bisa datang dengan membawa cerita mereka ke dalamnya. Baik itu suka, duka, keluh kesah. Dan menjadikan rumah ibadah sebagai solusi terbaik.
Tidak saja berbondong-bondong membangunnya semegah mungkin, menyulapnya menjadi tempat wisata, tapi sepuluh langkah dari halamannya, ramai pula para pengemisnya. Terlihat timpang, bukan. Butuh keberanian untuk memulai sebuah perubahan, atau memilih diam dan meneruskan kebiasaan-kebiasaan lama. Tokoh-tokoh dalam film ini merupakan gambaran nyata kondisi umat. Film ini akan selalu relevan ditonton kapan pun.
Film Atap Padang Mahsyar benar-benar sentilan yang luar biasa. Mari menjadikan rumah ibadah sebagai solusi setiap persoalan umat. Membangun mereka memiliki keyakinan bahwa, tak salah mereka memilih rumah Tuhan sebagai tempat pengaduan segala persoalan, karena di sanalah pun solusi diberikan. Maknai arti sedekah dengan tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H