Bumi masih terlelap, ayam belum lagi terbangun, bulan menggeliat terusik. Aku menyeret langkah dengan kedua mata masih rapat oleh kantuk, belum seutuhnya kembali dari negeri mimpi, yang menawarkan  kisah dan kasih tak bertepi.
Merajuk pada pancuran, air wudhu membasuh wajah, membulatkan utuh ruh diri yang masih terkurung oleh halusinasi. Menepi dibentang sajadah, ruang 3x4 meter itu serupa kubus yang tiba-tiba penuh dengan lampu warna-warni.
Sujud demi sujud menyatukan kening pada bumi, nyatakan segenap cinta lewat ayat-ayat-Nya. Membiarkan titik bening berjatuhan penuh sesal. Atas segala hilaf jiwa dan dosa lelaku raga yang bangga oleh kemilau dunia.
Terisak menyentak meleburkan maaf dipinta pada Sang Pencipta rasa. Sudah, jangan lagi kunci dendam dan menumpuk koin kebencian. Biar ringan langkah dijejakan. Purna putih hati mengampuni diri sendiri.
Potongan potret melintas, orang perorang dan patahan kata menggores luka. Jiwa diam tanpa bantahan, namun menghitung tiap cacian. Aku baca Alif Lam Ra, dalam kitab kutemukan huruf-huruf yang memberiku kekuatan atas kasih-Nya.
Tuhan
Aku tak akan mengeluhkan mereka yang menuang cuka pada goresan yang masih berdarah-darah. Ijinkan tetap menjadi langit yang menaungi saat hujan dan panas berganti menguji nyali. Pada bilik-bilik kesabaran, istighfar terus dibisikan.
Bilah-bilah bambu mengajariku menyimpan segala baik, seperti akar-akar yang tak pernah terlihat meski menguatkan. Walau yang disebut indahnya bunga, manisnya buah. Namun daun-daun tetap hijau mewarnai kehidupan lalu gugur tanpa berpamitan.
Ku ketuk jendela langit, demi menitipkan sebuah nama. Dalam bait-bait harapan, di sajak-sajak pasrah, keyakinan itu ku bangun dari bulir tasbih yang tak pernah henti. Seperti dinding-dinding yang merahasiakan kehadiran-Mu di akhir sepertiga malam.
Kuningan, 23 Juli 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H