Mohon tunggu...
Vera Verawati
Vera Verawati Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary woman

Kopi dan buku, serta menulis apa pun yang tergerak hati.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Negeri Para Gusti

26 Juni 2023   13:33 Diperbarui: 26 Juni 2023   13:36 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Keheningan seperti lambang-lambang kesepian pada sepotong hati yang baru saja retas oleh kepercayaan yang dihujam penghianatan. Ternyata, batas senja bukan jaminan atas setia sepasang cinta Adam dan Hawa.


Terkadang lelah membuat diri rasa ingin merebah. Lalu berkeluh kesah di sebuah negeri antah berantah. Sayangnya, ini negeri para gusti bukan milik para pribumi karena terbukti peran kami hanya seperti alas kaki.


Tak perlu menumpuk amarah, menggunungkannya seperti sampah di pinggiran sawah yang tak lagi jadi sawah. Melainkan jadi rumah-rumah singgah berkedok villa dan hotel, mengatasnamakan kesejahteraan segelintir orang-orang gagah.


Malas melukiskan langit meski tahu keindahannya tak terkira. Lihatlah, putihnya awan serupa putih dan lembutnya kulit bidadari, birunya bagai bola mata jernih perawan suci. Kelenturannya saat terapung seperti asa kita yang belum juga sampai ke muara pasti.


Tuan,
Apa perlu kita duduk bersama, menikmati hidangan dari pinggan orang-orang terpinggirkan. Agar kau tahu apa rasanya kebingungan untuk satu piring kehidupan, yang dinikmati hari ini belum tentu ada esok lusa.


Tapi tuan,
Telinga ini sedang malas mendengarkan curhatan, rata-rata tentang keterbatasan yang disamarkan. Karena ketika tahu, keinginan mengurangi segala keresahan teman tapi apa daya tak berkemampuan.


Terlihat asik menyaksi para kurcaci yang berjalan tanpa harus menundukan badan. Leluasa berseliweran, tertawa riang di bawah kaki pemangku jabatan. Seperti para penjilat yang dengan lumat menjadi lintah darat, si kerdil pun sekarat.


Gegap gempita dunia, senyata panggung sandiwara yang penuh drama. Bersiap tersihir oleh janji-janji yang disuarakan para amatir. Kini berganti gaya bak raja. Perlukah berguru pada Si Gila yang dengan kondisi tiada berupa  tetap tertawa bahagia.

Kuningan, 26 Juni 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun