"Assalammualaikum", katanya dengan semangat.
 "Waalaikumsalam. Bagaimana kabarnya?" jawabku.
 "Era, sebenarnya tadi aku sudah lancang menyampaikan sesuatu pada Papa. Aku bderharap kamu tidak marah. Aku serius dengan ucapanku."
 "Kamu menyampaikan apa? Aku tidak paham apa yang kamu katakan", jawabku pura-pura tidak tau.
 "Jadi Papa tidak menyampaikannya, ya!"
 "Menyampaikan apa?"
 "Sebenarnya...", seketika perkataannya terputus.
 "Sebenarnya apa Hendra?" tanyaku seolah-olah penasaran. Aku memanggilnya Hendra karena kami sama besar.
"Aku sebenarnya menyukaimu, aku senag dan menyambung bicara denganmu. Rasanya nyaman berkenalan dengan keluargamu dan aku senag dengan keakraban keluargamu", ulasnya dengan serius.
Aku tertawa dan menganggap ini hanya gurauan. Aku menjawab keseriusannya bahwa aku ingin menjalani hubungan seperti teman saja. Aku belum mau jadi yang spesial untuknya.
Dia pun tidak mau memaksakan keinginannya. Dia menerima keputusanku. Setiap aku butuh dia, dia datang membantuku. Penyelesaian skripsiku terasa cepat karena dia mau menemani dan mengajarku. Menjelang wisuda, aku nmenerimanya jadi orang spesial dihatiku. Kami menjalaninya dengan saling memahami. Aku juga senang dengan keluarganya. Aku diterima anggota keluarganya dengan baik.