"Tolong maafkan Umar, Bi. Umar tidak akan mengulanginya lagi", Umar menangis dihadapan abinya.
Abi tetap diam. Umar hanya bisa menangis dan berusaha mempersiapkan dirinya agar segera pergi. Dia tidak mau, Abi marah lagi karena keterlambatannya.
Akhirnya, Umar siap dan sudah rapi. Abi menghidupkan mobil. Perjalanan kami dimulai.
Suasana di atas mobil tersa sunyi. Tak ada lagi canda tawa seperti biasanya. Kehebohan Umar bungkam karena Abi mendiamkannya.
"Abi, tolong bicara sama Umar. Umar berjanji untuk patuh. Umar akan selalu ingat pesan Abi."
"Umar, Abi sangat bangga memiliki anak soleh seperti Umar. Jadilah contoh untuk Rasyid. Ketika Umar patuh dan berakhlak baik, saat itu pula Rasyid akan menjadikan Umar sebagai panutannya. Abi melarang beli balon karena balon itu bisa membuat leher Umar sakit meniupnya. Karena pergi beli balon, perjalanan kita jadi terlambat. Sehari sebelum tahun baru ini, biasanya perjalanan macet kalau kita siang berangkatnya", kata Abi sambil mengusap kepala Umar.
Seketika, suasana terasa mengharukan. Umar menangis menyesali kesalahannya.
"Maafkan Umar ya Bi", jawab Umar penuh penyesalan.
Sesampai di pasar Padang Panjang kami membeli bekal untuk makan diperjalanan. Umar dan Rasyid memilih cemilan yang mereka sukai.
Perjalanan dilanjutkan. Terlihat anak-anakku menikmati perjalanannya. Terdengar tawa ria mereka di kursi belakang. Sesekali Rasyid berteriak memanggil monyet yang ada dipinggir jalan sepanjang perjalanan menuju Lembah Anai.
Ternyata, kami dihadapkan dengan macet yang sangat panjang. Kami penasaran akan hal yang menyebabkan kemacetan ini.