Mohon tunggu...
Noning Verawati
Noning Verawati Mohon Tunggu... -

Noning Verawati, akrab dipanggil dengan sapaan Vera, lahir di Lampung, 5 Mei 1986. Lulus S1 pada program Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik tahun 2008 di Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta. Dua (2) tahun terakhir (2008-sekarang) berkarya di Radio UNISI 104.5 FM Yogyakarta. Selain berkarya di Media Massa, penulis juga tengah menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana di UGM Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik 09. \r\nSaat ini, penulis memilih jalur pendidikan di kampus (dosen) sebagai ajang mengasah diri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pembatalan UU BHP Picu Komersialisasi dan Liberalisasi

22 April 2010   07:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:39 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak hanya pembuatan UU BHP yang mendapat reaksi protes dari berbagai kalangan lantaran dianggap akan membuat pendidikan semakin mahal akan tetapi pembatalan UU BHP yang dilakukan Mahkamah Konstitusi juga mendapat berbagai tanggapan. Pengamat pendidikan yang juga Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Dr Rochmat Wahab mengatakan, dihapuskannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menjamin tidak akan ada komersialisasi dan liberalisasi dalam bidang pendidikan di Indonesia. Bahkan menurut Rochmat, dihapuskannya UU tersebut justru akan menjadikan komersialisasi dan liberalisasi di dunia pendidikan semakin tidak terkendali karena tidak adanya aturan baku dakan hukum tertinggi di Indonesia tentang itu.

"Seringkali dimunculkan bahwa dengan ketika UU BHP dihapus maka tidak akan ada komersialisasi dengan tidak ada UU BHP berarti tidak ada liberalisasi. Saya malah menduga justru dengan UU BHP dihapus akan terjadi komersialisasi dan liberalisasi yang tidak bisa dikendalikan dan kepedulian kepada anak miskin semakin akan semakin terabaikan," ungkapnya di UNY selasa (20/4)

Indikasi tersebut menurutnya, terlihat dari dikoreksinya pasal tentang pemberian beasiswa kepada siswa berprestasi dari keluarga tidak mampu dari UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) oleh MK. Menurutnya, MK mengkoreksi pasal tersebut dengan menghapus item dari keluarga tidak mampu, sehingga yang memperoleh beasiswa adalah siswa yang berprestasi dan tidak dikaitkan dengan status keluarga apakah mampu atau tidak mampu.

" Yang memperoleh beasiswa hanya yang berprestasi tidak boleh dikaitkan dengan orang yang tidak mampu, katanya kalau itu dimasukkan akan ada diskriminasi antara yang mampu dengan yang tidak mampu, padahal beasiswa untuk semua. Ini kan aneh, makna diskriminasi dipahami seperti itu, justru dengan adanya modifikasi bahwa yang diberi peluang adalah yang berprestasi dari yang tidak mampu tapi itu dipotong jadi yang berprestasi saja. Dengan begitu beasiswa ini akan direbut oleh orang-orang yang kaya. Kalau mau transparan akan kita tunjukan dari data yang berprestasi dipotong 10 persen saja akan terlihat bahwa mereka dari golongan orang yang mampu dan hanya satu dua saja yang berasal dari orang tidak mampu," jelasnya.

Menurutnya, dalam UU BHP keberpihakan terhadap masyarakat tidak mampu itu sudah diatur jelas. Lembaga pendidikan wajib menyediakan kuota 20 persen untuk siswa yang berprestasi dan dari keluarga tidak mampu. BOleh lebih tetapi kalau kurang akan kena sanksi. "Itu sudah jelas ada aturannya. Jadi sebenarnya BHP itu keberpihakan terhadap orang tidak mampu tinggi. Hanya saya masyarakat sering menafsirkan BHP sama dengan BHMN, ini berbeda," paparnya.

Selain itu kata dia, BHP justru telah mengatur bahwa mahasiswa tidak boleh ditarik biaya pendidikan lebih dari sepertiga dari total biaya pendidikan yang harus dikeluarkannya. Selain itu kata dia, institusi yang memiliki keuntungan dan keuntungannya itu tidak digunakan untuk perbaikan kualitas pendidikan maka dia juga akan dikenai sanksi dipenjara 5 tahun dan denda Rp 500 juta. "Apa mau rektor atau kepala sekolah atau pimpinan perguruan tinggi menanggung denda dan dipenjara seperti itu. Jadi kalau dengan UU BHP akan ada kekhawatiran komersialisasi dan liberalisasi maka tidak masuk akal menurut saya. Justru kalau tidak ada justru akan ada liberalisasi dan komersialisasi tersebut," tegasnya.

Alasan-alasan banyak pihak yang digunakan untuk mendiskualifikasi UU BHP menurut Rochmat, tidak pas. Karena semua aturan untuk tidak adanya komersialisasi dan liberalisasi justru telah ada di UU tersebut. Karenanya kata dia, Rektor Perguruan Tinggi di Indonesia justru berhak untuk melakukan demonstrasi terkait hal itu. Karena menurutnya, dengan tidak adanya UU tersebut berat dari perguruan tinggi untuk tetap survive dan meningkatkan kualitas pendidikannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun