Mohon tunggu...
Cerpen

Sekadar Saja Tidaklah Cukup

20 Maret 2017   15:48 Diperbarui: 20 Maret 2017   15:56 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak hangout pertama itu, kami menjadi seringberkumpul, bermain bersama, mengobrol kesana kemari, mengerjakan tugas bersama,pergi ke kantin bersama, berbagi cerita, dan banyak hal lagi yang kita lakukanbersama. Bahkan, Air pernah mengantarkanku pulang menggunakan mobilnya ketikakami menjadi panitia suatu acara di sekolah karena sudah larut malam. Tidaksampai di situ, dia juga mengajakku makan di restoran cepat saji karena diatahu aku belum makan sejak siang. Dia juga tidak sungkan mengajakku pergiberdua ketika Elia dan Nendi menolak ajakannya. Memang ajakannya itu kuranglogis, karena dia mengajak kami untuk menemaninya berbelanja baju di pameranpakaian distro yang di gelar di stadion. Tapi, bagiku itu hal yang lucu karenalaki-laki yang hobi berbelanja satu ini memiliki selera tinggi dalam memilihsegala sesuatu.

Nendi dan Elia juga semakin sering mengunjungi rumahkudi akhir pekan untuk membahas lagu yang mereka ciptakan untuk dinyanyikan oleh band mereka.Entah mengapa, mereka menganggap aku adalah orang yang puitis, sehingga seringkali mereka meminta pendapatku tentang pemilihan kata yang akan dituliskansebagai lirik lagu.

Semua ini terkesan bukan kebetulan semata. Aku danElia teman sekelas di kelas X. Aku dan Nendi adalah teman lama. Begitu jugadengan Air dan Nendi, mereka berteman dekat di kelas X. Air dan Elia jugaberteman sejak mereka SMP, dan kenyataan yang terjadi sekarang kami sudah kelasXI dan menjadi teman dekat. Keajaiban Tuhan yang patut aku syukuri lagi adalahkami menjadi sekelas sekarang.

**

Di tengah kebahagianku memiliki dunia baru di masaputih abu-abu, aku tetaplah anak bapak dan ibuku. Aku tetaplah anak yang harusmematuhi perintah orang tuaku. Aku tetaplah anak yang harus menjalankan segalakewajiban yang sudah di tetapkan kepadaku. Aku tetap menyapu, mengepel, danmembantu ibu membereskan rumah kapan pun ibu minta. Aku tidak mungkin menolakpermintaan tolong ibu yang sangat lembut itu, sekalipun ada setumpuk pekerjaansekolah yang menungguku.

Hingga suatu malam bapak yang kini menjadi wakilkepala sekolah menjadi sering pulang senja. Melihat keadaan rumah yangberantakan, ternyata memancing kemarahan beliau. Apalagi, beliau melihat akududuk seperti tak bersalah di kursi belakang sambil memegang ponsel. Tiba-tibasaja beliau mengebomku dengan serentetan pertanyaan,

“Tugas sekolahnya sudah selesai kak? Santai banget.Itu di dalam ponsel ada apanya? Asik banget. Ibu lagi masak untuk makan malamlihat? Malah enak-enakan mainan. Kakak sudah salat magrib belum? Itu ruangdepan berantakan, bapak lihat isinya barangmu semua, sudah selesai di pakaibelum sebenarnya? Kalau sudah engga dipakai, sini biar bapak bakar.”

Kata-kata yang keluar dari mulut bapak, seolahmenghujamku. Tanpa berpikir panjang, kuletakkan ponselku di kursi dan akuberdiri,

“Iya pak.” Jawabku tanpa ekspresi. Sebenarnya, akumenahan air mata yang rasanya sudah mau meloncat keluar. Aku pun bingungpertayaan dan perintah bapak yang mana yang aku iyakan.

Setelah makan malam, aku langsung masuk ke kamar danmenangis terisak sejadi-jadinya. Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal. Mencobamembungkam mulutku agar suara tangisku tak terdengar. Ingin rasanya membantahbapak, tapi memang aku juga bersalah. Tidak membantah, tetapi aku juga tidaksepenuhnya bersalah. Aku juga lelah, tapi apa daya aku hanya bisa menyimpankekalutanku sendiri. Ingin rasanya membuka mulut untuk sekedar mengeluh, tetapiitu akan menunjukkan betapa lemahnya aku menghadapi hidupku sendiri.

Aku tenggelam dalam lamunanku; setelah hampir duatahun aku di masa putih abu-abu ini, aku melihat berbagai hidup selain hidupkusendiri. Air. Dia bebas membawa mobil sendiri kemanapun dia mau. Dia bebasmembeli apapun yang dia suka, tanpa menunggu waktu yang lama untuk mengumpulkanuang terlebih dahulu. Nendi. Hidupnya bebas seperti burung. Dia bisa duduk lamadi café tanpa khawatir tentang uang untukmembayarnya. Bahkan, ia tidak khawatir akan dimarahi oleh orang tuanya ketikapulang larut malam. Elia. Tidak ada aturan yang mengikatnya di rumah. Dia bebasberlaku seperti apa saja dirumahnya sendiri. Meskipun dia seumuran denganku,dia tidak pernah di tuntut untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumahsepertiku. Semua itu karena siapa? Tentu saja karena orang tua. "Ah,andaikan orang tuaku seperti orang tua mereka!" Hardikku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun