Mohon tunggu...
Verani Dwitasari
Verani Dwitasari Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Umum - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya

Full-time Mom, Part-time Physician and Student

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Fraud dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional

15 November 2024   18:08 Diperbarui: 15 November 2024   18:32 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian penting dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang bertujuan untuk memberikan akses kesehatan merata dan terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pelaksanaan Program JKN lebih lanjut, pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sejak diluncurkan pada tahun 2014, program BPJS telah menjadi penggerak utama dalam meningkatkan angka partisipasi layanan kesehatan dan mengurangi kesenjangan dalam akses medis di seluruh wilayah Indonesia.

Program JKN telah membawa dampak positif pada akses kesehatan, akan tetapi dalam pelaksanaanya JKN juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan serius dalam pelaksanan JKN adalah masalah fraud atau kecurangan. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) serta Pengenaan Sanksi Administrasi terhadap Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan, fraud didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program Jaminan Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam berbagai media banyak diberitakan mengenai temuan kasus fraud di lingkungan rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Penulis mengenai fraud dalam pelaksanaan Program JKN. Dari pemberitaan-pemberitaan yang muncul, seolah-olah hanya rumah sakit atau fasilitas kesehatanlah yang berpotensi melakukan fraud. Lalu, apakah mungkin potensi fraud dapat berasal dari pihak lain? Bagaimana dengan permasalahan yang dialami Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau juga Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) mengenai pending klaim, pengembalian dana kapitasi FKTP, serta pengembalian klaim dikarenakan adanya proses audit pasca klaim? Apakah permasalahan tersebut sebagai bentuk penanganan fraud ataukah termasuk ke dalam fraud terhadap fasilitas kesehatan?

Dalam Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 disebutkan bahwa potensi terjadinya fraud tidak hanya di fasilitas kesehatan, namun juga dapat dilakukan oleh peserta, BPJS Kesehatan, penyedia obat dan alat kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya. Permenkes ini juga menjelaskan berbagai jenis fraud yang dapat dilakukan oleh masing-masing pihak. Secara umum, beberapa jenis fraud yang disebutkan diantaranya adalah memalsukan data dan/atau identitas peserta, unneccesary services, memberi dan/atau menerima suap dan/atau imbalan, penyalahgunaan dana, menarik besaran iuran tidak sesuai dengan ketentuan, menolak dan/atau memperlambat penerimaan pengajuan klaim, menahan pembayaran tagihan ke Fasilitas Kesehatan, manipulasi data, klaim palsu (phantom billing), memperpanjang lama perawatan (prolonged length of stay), penjiplakan klaim (cloning), klaim berulang (repeat billing), penggelembungan tagihan (inflated bills), pemecahan episode pelayanan (services unbundling or fragmentation), admisi berulang (readmisi), serta tindakan-tindakan lain yang tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain menjelaskan mengenai potensi fraud, dalam Permenkes tersebut juga menjelaskan mengenai upaya pencegahan, penanganan fraud, pengaturan sanksi administrasi, serta pembinaan dan pengawasan.

Berkaitan dengan pending klaim dan audit pascaklaim dalam BPJS Kesehatan, tentu saja keduanya memiliki hubungan yang erat dengan upaya pencegahan dan deteksi fraud. Namun, usaha dalam pencegahan fraud terkait klaim tersebut mempunyai batasan yang kecil dengan tindakan yang termasuk fraud terhadap fasilitas kesehatan. Dalam Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 dijelaskan beberapa poin berkenaan dengan klaim yang masuk dalam kategori fraud terhadap fasilitas kesehatan, diantaranya adalah menolak dan/atau memperlambat penerimaan pengajuan klaim yang telah memenuhi syarat; memperlambat atau mempercepat proses verifikasi klaim dan/atau pembayaran klaim yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; menahan pembayaran tagihan ke Fasilitas Kesehatan yang telah diverifikasi dan telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan  pembayaran kapitasi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa proses klaim masuk ke dalam fraud apabila tidak sesuai peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan kemudian menjadi dasar penting dalam pelaksanaan setiap keputusan pihak BPJS Kesehatan. Namun, efektivitas aturan ini masih bergantung pada pengawasan yang konsisten dan komitmen pelaksanaan. Selain itu, peraturan-peraturan khususnya peraturan yang dikeluarkan terkait  dalam penetapan klaim BPJS Kesehatan terkesan sering berubah-ubah. Di satu sisi, perubahan peraturan dilakukan untuk menyesuaikan dengan dinamika pelayanan kesehatan, mengakomodasi teknologi atau metode perawatan baru, serta merespons temuan audit terkait fraud atau inefisiensi. Dari sisi fasilitas kesehatan, perubahan yang terlalu sering dan terkadang tanpa sosialisasi yang cukup atau jeda implementasi yang memadai bisa menimbulkan kesulitan dalam menyesuaikan administrasi klaim dan proses pelayanan. Fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sering kali mengalami kendala untuk terus mengikuti aturan baru. Ketidakpastian aturan ini bisa mengganggu alur kerja tenaga medis, administrasi, hingga pengelolaan finansial rumah sakit. Selain itu, perubahan aturan yang terlalu sering juga dapat memicu terjadinya pending klaim atau bahkan penolakan klaim akibat perbedaan interpretasi antara fasilitas kesehatan dan BPJS Kesehatan mengenai standar layanan yang diatur.

Mekanisme pending klaim dan audit pasca klaim perlu dilakukan pada beberapa kasus tertentu, akan tetapi hal tersebut menjadi tantangan supaya proses ini tidak mengganggu operasional fasilitas kesehatan. Untuk itu, perlu ada transparansi dan akuntabilitas dari kedua belah pihak agar proses verifikasi klaim tidak menjadi hambatan dalam pelayanan kesehatan. Selain itu, dibutuhkan mekanisme banding atau peninjauan ulang yang jelas agar fasilitas kesehatan bisa mengajukan keberatan jika merasa hasil audit tidak sesuai dengan pelayanan yang sebenarnya.

Berkaitan dengan pembuatan peraturan terkait program JKN oleh BPJS Kesehatan, seharusnya peraturan tersebut dapat menerapkan prinsip hukum yang baik. Peraturan yang nantinya tidak hanya menjadi pedoman tertulis, namun juga dapat dilaksanakan secara adil dan optimal. Lon Fuller, seorang ahli hukum dan filsuf Amerika, mengajukan gagasan tentang prinsip-prinsip legalitas atau prinsip-prinsip hukum yang baik, agar suatu sistem hukum dapat disebut efektif dan adil. Fuller menekankan bahwa hukum bukan hanya tentang aturan yang diberlakukan, tetapi juga tentang bagaimana aturan-aturan tersebut disusun, diterapkan, dan dijalankan untuk mencapai keadilan substantif dan prosedural. Prinsip legalitas Fuller tersebut meliputi: 

a) Generality, dimana hukum harus bersifat umum, berlaku untuk semua orang dalam kondisi yang sama dan tidak boleh dirancang hanya untuk kasus-kasus individu atau situasi tertentu; 

b) Publicity, hukum harus diketahui oleh masyarakat; 

c) Non-Retroactivity, hukum seharusnya tidak berlaku surut yang artinya bahwa aturan yang baru diberlakukan tidak boleh menghukum tindakan yang terjadi sebelum aturan tersebut diundangkan; 

d) Clarity, hukum harus jelas dan mudah dipahami agar tidak menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan; 

e) Consistency, hukum harus konsisten dan tidak saling bertentangan; 

f) Possibility of Compliance, aturan harus mungkin untuk ditaati, tidak boleh memberlakukan kewajiban yang mustahil untuk dipenuhi; 

g) Stability, hukum harus stabil dan tidak sering berubah sehingga tidak akan mengganggu kepastian hukum; 

h) Congruence between Rules and Official Action, penerapan aturan oleh aparat negara harus sesuai dengan isi aturan yang ada, konsisten dan tidak bias agar menghasilkan keadilan.

Mengingat besarnya peran program JKN bagi masyarakat dan pemerintah, maka perlu adanya optimalisasi sistem pencegahan fraud, audit yang transparan, pembinan dan pengawasan yang ketat, serta hukuman yang tegas bagi pelaku fraud. Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 diharapkan membuka peluang bagi masyarakat untuk terlibat lebih aktif dalam pelaporan fraud melalui jalur pengaduan yang mudah diakses yaitu melalui whistle blowing system, serta penyelesaian secara aktif tanpa membedakan antara sumber pelapor apakah individu sebagai penerima layanan ataupun FKTP dan FKRTL sebagai mitra BPJS. Dengan langkah pencegahan yang jelas dan terbuka, aturan ini bisa menjadi penangkal kuat terhadap praktik kecurangan di dalam JKN. FKTP dan juga FKRTL juga pertu mendapatkan atensi dan ruang untuk menyampaikan keluhan terhadap benturan-benturan yang muncul dalam pelaksanaan JKN. Hal ini diharapkan agar tujuan BPJS Kesehatan dalam pelaksanaan JKN dapat terlaksana dengan optimal, yaitu memberikan dan memastikan akses layanan kesehatan yang adil, merata, dan berkualitas bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun