Pada tahun 2015 hingga 2017, saya mendapatkan kesempatan untuk berlibur (sambil bekerja) di sebuah pulau bernama Wetar. Pulau itu ada di Maluku Barat Daya.Â
Untuk sampai ke sana, saya yang berdomisili di Jawa Tengah saat itu harus naik pesawat dua kali ke Kupang, menunggu setengah hari, lalu bertolak dengan kapal selama 14-16 jam hingga akhirnya sampai di pelabuhan milik perusahaan tempat saya bekerja.
Dahulu kala, di pulau tersebut terdapat tambang emas bernama Prima Lirang Mining (PLM). Kemudian ketika emasnya telah habis, maka berdirilah tambang tembaga di sana, bernama Batutua Tembaga Raya.Â
Jika bekerja di BTR, kita dapat melihat keindahan pulau ke mana saja kita pergi. Seolah-olah, kita sedang selalu berlibur di pantai, meski sambil mengurus pekerjaan. Rasanya tidak ada tempat di sana yang tidak instagramable untuk dijadikan latar berfoto.
Kalau dapat ikan yang biasanya besar-besar (rata-rata sepanjang lengan manusia dewasa), akan ada acara panggang ikan bersama dengan penuh kehangatan.Â
Banyak pekerja di sana yang menyengaja membawa peralatan memancing profesional yang hanya bisa saya lihat di acara televisi Mancing Mania.
Seumur hidup, saya baru sekali makan lobster, dan itu pun di pulau ini. Bayangkan, malam-malam jam 8-9, seorang teman sekamar datang membawakan lobster berukuran sebesar siku hingga ujung jari orang dewasa.Â
Lobster itu ditombak oleh kawannya, dan dimasakkan oleh koki di dapur. Kami memakan bersama lobster lezat itu hanya berempat saja. Sungguh pengalaman yang tidak akan sesering itu dialami.
Pun kala dapat shift malam, paginya kita dapat berjalan-jalan menelusuri hutan, menemukan keindahan-keindahan yang tak terjamah banyak orang. Sebagai anak yang terlahir di kota, mengeksplorasi hutan dan pantai yang indah adalah sebuah mimpi yang menjadi nyata bagi saya.
Mengesampingkan keindahannya yang membetahkan mata, bekerja di pulau ini banyak sisi 'tidak enak'nya. Ada buaya yang bisa berjemur kapan saja, juga ular yang terkadang diketemui di tengah jalan mess.Â
Binatang liar di tempat itu memang masih lestari, tetapi mereka sebetulnya jarang sekali mengganggu manusia. Hanya sekali-dua saya mendengar cerita ada yang tergigit, dan itu pun langsung tertangani dengan baik.
Namun, terkadang jika sudah terlalu meresahkan pekerja, akan dipanggilkan pawang untuk melatih penjagaan diri ataupun untuk mengusir binatang itu dari tempat hunian.
Satu hal yang paling membuat saya tidak betah bekerja di sana adalah unsur terpencilnya. Kapal hanya akan datang dan pergi dua kali seminggu (waktu itu), sehingga jika ada kedaruratan, akan sulit untuk meminta pertolongan lebih lanjut.
Pernah satu kali saya melihat anak kecil yang sakit, harus menahan rasa sakitnya lebih lama dalam perjalanan kapal selama 16 jam menuju ke Kupang. Terlebih, kadang kala laut tak bersahabat sehingga turunlah travel warning, dan pekerja yang tinggal di pulau tak dapat keluar, makanan pun jadi kian terbatas.
Apalagi, saat terjadi tragedi, semisal kehilangan keluarga, kita harus tetap bersabar menunggu dua hingga tiga hari agar sampai rumah. Mendengar cerita kehilangan seperti ini, saya sudah sering.Â
Namun, mengalaminya sendiri merupakan hal yang tak tertahankan. Pada akhirnya, ketika kesempatan datang untuk mengucapkan selamat tinggal, saya mengambilnya tanpa berpikir terlampau lama.
Selamat tinggal Pulau Wetar, keindahanmu selalu di hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H