Binatang liar di tempat itu memang masih lestari, tetapi mereka sebetulnya jarang sekali mengganggu manusia. Hanya sekali-dua saya mendengar cerita ada yang tergigit, dan itu pun langsung tertangani dengan baik.
Namun, terkadang jika sudah terlalu meresahkan pekerja, akan dipanggilkan pawang untuk melatih penjagaan diri ataupun untuk mengusir binatang itu dari tempat hunian.
Satu hal yang paling membuat saya tidak betah bekerja di sana adalah unsur terpencilnya. Kapal hanya akan datang dan pergi dua kali seminggu (waktu itu), sehingga jika ada kedaruratan, akan sulit untuk meminta pertolongan lebih lanjut.
Pernah satu kali saya melihat anak kecil yang sakit, harus menahan rasa sakitnya lebih lama dalam perjalanan kapal selama 16 jam menuju ke Kupang. Terlebih, kadang kala laut tak bersahabat sehingga turunlah travel warning, dan pekerja yang tinggal di pulau tak dapat keluar, makanan pun jadi kian terbatas.
Apalagi, saat terjadi tragedi, semisal kehilangan keluarga, kita harus tetap bersabar menunggu dua hingga tiga hari agar sampai rumah. Mendengar cerita kehilangan seperti ini, saya sudah sering.Â
Namun, mengalaminya sendiri merupakan hal yang tak tertahankan. Pada akhirnya, ketika kesempatan datang untuk mengucapkan selamat tinggal, saya mengambilnya tanpa berpikir terlampau lama.
Selamat tinggal Pulau Wetar, keindahanmu selalu di hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H