Mohon tunggu...
Anny Purnomo
Anny Purnomo Mohon Tunggu... -

dengan menulis aku bisa bebas bercerita dan mengeluarkan semua hal yang menggelitik kepalaku

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Serbuan The Raid, antara Bangga Sekaligus Geram

24 Maret 2012   11:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:32 7239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1332603348651637126

[caption id="attachment_178079" align="aligncenter" width="620" caption="admin/ilustrasi(kompas.com)"][/caption]

Sukses The Raid dalam ajang Festival Film Internasional Toronto (Toronto International Film Festival) (TIFF) di Toronto, Kanada pada September 2011 lalu rupanya membawa berkah tersendiri bagi film ber-genre action ini. Tidak tanggung-tanggung, film ini bahkan dibeli oleh Sony Pictures Worldwide Acquisition yang selanjutnya mendapatkan hak pendistribusian film ini untuk negara Amerika Serikat dan telah meminta Mike Shinoda (salah satu personel Linkin Park) untuk menciptakan musik latar baru pada film ini. Film ini kemudian dirilis di Amerika Utara oleh Sony Pictures dengan judul The Raid: Redemption.

Gebrakan The Raid ini tentunya menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi masyarakat Indonesia, seperti apa film The Raid. Rasa penasaran tersebut akhirnya terjawab sudah. 23 Maret kemarin, The Raid benar-benar menyerbu layar lebar, tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di Australia, Kanada, dan Amerika Serikat.

Betapa antusiasnya saya ketika mendapat kesempatan hadir dalam screening film The Raid, Kamis (22/3) kemarin. Seorang teman mengatakan saya beruntung karena dapat menjadi orang pertama yang menonton film berkelas internasional ini. Perasaan itu semakin menjadi-jadi tatkala, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, beserta Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Scot Marciel, ikut hadir dalam screening ini. Pujian yang luar biasa meluncur dari kedua pejabat negara tersebut, bahkan bu Mari mengatakan bahwa aksi para tokohnya mirip seperti aksinya Bruce Lee. Wow, saya makin excited mendengarnya!

Film pun ditayangkan. Adegan dimulai dengan munculnya Rama (Iko Uwais) yang sedang melakukan adegan Shalat serta berlatih bela diri. Selanjutnya ia pamit kepada sang istri yang tengah hamil bahwa ia akan menjalani misi yang berat. Kejelasan cerita mulai terlihat saat adegan Sersan Jaka (Joe Taslim) menjelaskan misi rahasia tersebut kepada anak buahnya. Target utama adalah Tama (Ray Sahetapi) seorang pimpinan gangster yang terkenal kejam dan sulit ditangkap.

Adrenalin penonton kemudian akan terasa meningkat ketika penyerbuan dimulai. Ketegangan yang tidak henti-hentinya berpindah dari satu adegan ke adegan yang lain. Penonton dipaksa untuk tidak berpaling dari layar karena diliputi rasa penasaran seperti apakah adegan selanjutnya. Dari awal hingga akhir cerita, penonton akan disuguhi aneka macam cara membunuh serta tak lupa darah yang siap mengalir dari bagian tubuh mana saja. Ketegangan baru benar-benar menurun pada menit-menit terakhir disaat Tama, sang mafia, tertembak mati.

Secara pribadi saya berpendapat bahwa karya anak negeri ini memang cukup lumayan dari beberapa perspektif. Misalnya adegan bertarung baik yang dilakukan bersenjata maupun dengan tangan kosong terlihat cukup profesional. Dialog serta perpindahan scene dari satu ke yang lainnya juga cukup efektif. Bahkan Mike Shinoda menyatakan secara langsung kekagumannya terhadap aksi para tokoh The Raid ini saat Linkin Park manggung di Indonesia.

Namun, ada beberapa catatan yang membuat saya geram akan film diproduseri Ario Sugantoro dan disutradari oleh pria asal Wales, Gareth Evans ini. Terdapat beberapa hal yang sedikit menggelitik pemikiran saya, apakah film ini benar-benar dapat mengangkat citra per-film-an Indonesia di mata internasional?

Pertama, kritik saya tujukan kepada adegan-adegan kekerasan dan kesadisan para pemain yang diperlihatkan secara vulgar. Apakah harus sedemikian vulgar? Tidak masalah dengan adegan pembunuhan yang disajikan dengan berbagai macam teknik seperti ditembak di kepala, leher yang ditusuk belati, atau bahkan dengan tangan kosong sekalipun. Hanya saja "seni" membunuh pada adegan film tersebut terasa masih kurang pas. Jika hanya beberapa adegan mungkin tidak masalah ditampilkan secara vulgar. Akan tetapi rasanya akan lebih baik jika imajinasi penonton juga dibiarkan berkembang tanpa harus melihat secara langsung. Misalnya pistol hanya ditodongkan ke leher, kemudian terdengar suara tembakan namun yang terlihat darah yang terciprat di muka pemain lain seperti yang diperlihatkan pada awal-awal adegan.

Adegan-adegan kekerasan yang teramat sadis, terutama bagi yang tidak biasa melihat adegan se-vulgar itu, tentunya dapat berpengaruh terhadap mental penonton. Tidak hanya itu, menurut saya hal ini juga terkait dengan "pembunuhan" karakter bangsa. Apakah karakter bangsa Indonesia pada masa sekarang ini sesadis dan sebrutal itu? Atau kita memang telah bosan dengan tema film yang ada dan merindukan film yang memicu adrenalin seperti itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun