"Salah satu tantangannya dalam pra kegiatan P5 ialah dalam mengarahkan siswa. Itu butuh perjuangan ekstra, terkadang ada yang mau ataupun ada yang tidak dalam melaksanakan P5, ada juga yang malas, Â ada juga yang semangat. Ya itulah tantangannya", ujar Ernawati dalam paparannya mengenai tantangan penerapan P5 yang terjadi di sekolahnya.Â
Berbeda dengan Ernawati yang tantangannya terletak di siswa, Zulfatul mengungkapkan tantangannya terkait miskonsepsi dari P5 itu sendiri.Â
"Tantangan untuk P5 di tempat saya ialah miskonsepsi yang perlu diluruskan bersama. Kalau awal untuk pra kegiatan, ada konsepsi bahwa P5 itu mewah dan melakukan bazar. Saya sebagai koordinator harus menyampaikan bahwa P5 itu tidak harus mewah ataupun mengadakan bazar, yang penting adalah pendidikan karakter siswa ketika pelaksanaan P5, misalnya gotong royong, kepedulian terhadap temannya yang sedang kesusahan. Itulah miskonsepsi yang terjadi dan sampai hari ini kami masih terus melakukan sosialisasi kepada warga sekolah, stakeholder, dan paguyuban di sekolah. Karena mereka melihat P5 di media sosial itu mengadakan bazar, market day, dan lainnya yang mewah-mewah."
Berangkat dari adanya tantangan tersebut, Zulfatul juga menyampaikan pesan, "Jangan pernah takut mencoba mempraktikkan P5. P5 itu tidak harus mahal, kok. Apapun yang kita lakukan sesuaikan dengan kondisi riil sekolah dan kondisi lingkungan, P5 akan tetap berjalan."Â
Selama sharing berlangsung, peserta menunjukkan antusiasme yang tinggi dengan aktif untuk berdiskusi dengan narasumber. Melalui Cakap Pengajar kali ini, harapannya para pengajar tidak hanya mendapatkan wawasan baru, melainkan juga dapat menerapkan P5 secara efektif untuk penguatan karakter siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H