Mohon tunggu...
Veny Aritonang
Veny Aritonang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hello! Welcome!

Menjadi penulis adalah impian masa kecil saya yang tidak pernah dan tidak bisa hilang.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Antara Childfree atau Memiliki Anak: Apakah Sebenarnya Saya Bisa Memilih?

9 September 2021   17:05 Diperbarui: 10 September 2021   08:13 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya memutuskan menikah, tidak sekejap pun saya berpikir soal rencana memiliki anak. Bagi saya, memiliki anak dan memilih partner hidup adalah dua komitmen yang terpisah, bukan buy 1 get 1 alias dua komitmen di dalam satu paket. 

Memiliki anak, sama seperti memilih pasangan hidup, adalah keputusan yang sangat serius. Untuk komitmen sebesar itu saya cuma mampu memikirkan satu dalam satu waktu. Saya butuh waktu bertahun-tahun sebelum saya mengambil keputusan pertama. Otomatis, untuk memikirkan komitmen kedua, saya butuh waktu yang tidak kalah panjang.

Makanya saya begitu terkejut ketika mengetahui bahwa yang berpikir demikian sepertinya hanya saya sendiri saja. Orang pertama yang memiliki pendapat berbeda adalah suami saya, yang saya pikir adalah belahan jiwa dan cerminan hati saya. Kedua, keluarga kami. Ketiga, rupanya, semua orang di sekitar kami. Sepertinya ini adalah norma umum: bila kamu menikah, artinya kamu sudah siap memiliki anak.

Saya bukannya tidak pernah berpikir untuk memiliki anak, namun saya selalu berpikir tidak saat ini. Berikut adalah beberapa hal yang membuat saya tidak terlalu antusias untuk segera memiliki, bahkan mulai mempertimbangkan untuk tidak memiliki anak. 

Pertama, bumi sudah terlalu banyak dipenuhi manusia. Saya hanya manusia biasa, bukan superhero, yang hanya bisa berbuat hal-hal kecil saja untuk bumi. Mematikan lampu, hemat air, tidak buang sampah sembarangan dan tidak memiliki anak adalah hal-hal yang mampu saya lakukan.

Kedua, saya bukan orang yang suka anak-anak. Tentu saya tidak sampai hati berkata saya benci anak-anak. Mereka juga manusia yang harus diperlakukan dengan baik. Tapi ya, itu. Saya menganggap anak-anak tidak terlalu berbeda dengan orang dewasa. Malah, saat melihat seorang bayi, saya tidak berpikir, "wah, kamu terlihat lucu, ya!", melainkan "wah, kamu terlihat merepotkan sekali, ya!".

Ketiga, dunia ini kejam. Melahirkan bayi ke dunia yang kejam ini terlihat seperti sebuah keegoisan. Bukan berarti orang yang ingin punya anak itu salah. Hanya saja, saya pikir orang itu harus benar-benar bertanggung jawab sebelum mengambil keputusan tersebut. Saya tidak tahu apakah saya siap dengan tanggung jawab sebesar itu.

Keempat, saya merasa tidak siap secara psikis dan saya rasa ini alasan terbesar saya. Ini terkait dengan kesehatan mental saya sendiri. Saya masih perlu belajar untuk mencintai diri sendiri. Bagaimana saya bisa mengajarkan kepada anak saya kelak bagaimana cara untuk mencintai dirinya, kalau saya saja masih belum tahu caranya?

Kelima, saya tidak siap secara fisik. Ketika hamil, wanita akan mengalami perubahan fisik yang besar dan akan berdampak di sepanjang hidup si wanita. Ketika melahirkan, wanita hanya punya dua pilihan: vagina yang robek atau perut yang robek. Beberapa wanita beruntung tidak perlu mengalami keduanya. Namun, tidak semua. 

Saya selalu memikirkan hal ini. Kodrat wanita adalah hamil dan punya anak, kata orang-orang. Tapi apakah wanita sendiri, sebagai pihak yang akan mengalami perubahan-perubahan fisik pada tubuhnya, tidak bisa memilih untuk dirinya sendiri? Bahkan untuk sekedar memilih kapan ia siap menghadapi perubahan fisik tersebut?

Bulan-bulan pertama menikah, saya segera mengkomunikasikan apa yang saya rasakan kepada suami saya. Itu adalah sebuah kesalahan. Bukan, bukan karena saya bilang-bilang, tapi karena kami membicarakan hal ini setelah menikah, bukan sebelum. Ternyata kami memiliki pandangan berbeda. 

Saya terbelah dua. Saya tidak ingin egois. Keinginan suami saya untuk memiliki anak sama validnya dengan keinginan saya menunda memiliki anak. Di satu sisi saya tidak tega untuk melenyapkan harapan suami saya, tapi di sisi lain saya pikir saya punya hak untuk memutuskan apa yang bisa terjadi pada diri saya dan suami saya harusnya bisa menghormati keputusan itu.

"Semoga segera punya momongan" adalah doa yang wajar diucapkan ketika ada yang menikah, sama seperti saat orang mengucapkan "semoga panjang umur dan sehat selalu" bila ada yang berulang tahun. Saya sering kali takjub atas betapa mudahnya keputusan memiliki anak di bayangan orang-orang. 

Tiap kali orang mengatakan, "semoga segera 'isi', ya", saya kembali terbelah dua. Apakah saya perlu menjawab sewajarnya, "ya, terima kasih!", atau saya perlu berkata jujur, "ehm.. sebenarnya, saya berpikir untuk menunda, bahkan mempertanyakan apakah punya anak adalah hal yang tepat. Tapi suami saya ingin punya anak. Jadi ini adalah keputusan yang sesungguhnya sulit buat saya". Karena saya masih memiliki sedikit kewarasan, saya sering kali memberi jawaban yang pertama.

Kami memutuskan untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi. Alasan pertama: tanpa alat kontrasepsi pun, saya belum tentu bisa hamil. 

Alasan kedua, adalah fakta bahwa wanita memiliki jam biologis. Semakin bertambahnya umur wanita, semakin besar resiko kehamilannya. Contoh, wanita usia 30-an lebih berpeluang melahirkan bayi Down Syndrome dibanding wanita usia 20-an; wanita 40-an berpeluang lebih besar lagi dan seterusnya. Di satu sisi bila saya memikirkan kesehatan bayi saya kelak, memang lebih baik bila saya bisa segera hamil, mumpung saat itu saya masih ada di pertengahan 20-an.

Di negara-negara maju sudah ada program pembekuan sel telur. Saya pikir opsi tersebut adalah opsi terbaik bagi wanita yang belum siap punya anak. Wanita bisa membekukan sel telur di saat kualitas telurnya masih baik. Namun saya sadar itu jauh sekali dari jangkauan saya, baik dari sisi akses maupun biaya.

Sejak saya menikah, saya beberapa kali pergi ke dokter kandungan. Saya tahu, dari luar saya terlihat seperti orang yang sedang mengharapkan kehamilan. Alasan terbesar saya memeriksakan diri ke dokter adalah untuk mengetahui apakah saya memiliki kemungkinan punya anak. Saya ingin mengetahui kesehatan reproduksi saya. Dokter mengatakan kami berdua sehat. 

Lalu pertanyaan saya berkembang menjadi rasa penasaran ilmiah. Apa yang menyebabkan kami tidak berhasil punya anak? Saya pikir sebuah jawaban bisa membuat saya merasa sedikit memiliki kontrol atas hidup saya. Pertanyaan "kapan saya mau punya anak?" bisa lebih valid diajukan setelah pertanyaan "apakah saya bisa punya anak?" terjawab.

Kami dinyatakan sehat namun saya tidak juga hamil. Saya bimbang antara harus bersyukur atau bersedih, sementara orang-orang tetap memberikan doa, beberapa bahkan bersedih untuk saya. 

Padahal pada saat itu, 3 tahun sejak kami menikah bahkan hingga saat ini, adalah masa dimana saya paling bahagia. Saya bisa hidup serumah bersama suami saya setelah sebelumnya kami sempat tinggal terpisah. Saya sudah sangat jarang mengalami masalah lambung ataupun sakit kepala yang bersumber dari stress yang dulu nyaris setiap hari saya alami selama bertahun-tahun.

Kebahagiaan yang saya rasakan membuat saya mengevaluasi keraguan saya untuk memiliki anak. Meskipun hidup saya jauh dari sempurna, saya menyadari, dengan sedikit ketakjuban, bahwa pada titik itu saya sudah menjadi orang dewasa yang lumayan puas (content) atas hidupnya. Kalaupun saya ternyata menjadi ibu yang kacau (kemungkinan besar, sih, akan seperti itu), paling tidak anak saya tidak akan menderita-menderita banget lah.

Jadi, alasan saya pada akhirnya menginginkan punya anak bukan karena ada yang kurang dalam hidup saya, melainkan karena akhirnya saya memiliki sebuah kepercayaan diri. Saya tidak dapat memastikan apakah kelak jika saya punya anak, ia akan jadi orang jahat atau orang baik. Tapi saya bisa memastikan, jahat atau baik, ia tidak akan buang sampah sembarangan.

Sebelum ini saya selalu gelisah dan bertanya-tanya apakah perbuatan saya bertanggung jawab, tidak menggunakan alat kontrasepsi dan meminum obat-obat penambah kesuburan di saat saya bahkan tidak yakin untuk punya anak. Saya memutuskan saya hanya akan melakukan program hamil yang lebih serius seperti inseminasi atau bayi tabung jika saya benar-benar siap dan benar-benar ingin punya anak. 

Saya butuh waktu tiga tahun untuk akhirnya memilih inseminasi. Hati saya lega karena keputusan saya akhirnya bulat. Saya bisa bilang sekarang, bahwa saya mencoba hamil bukan hanya untuk suami, tapi juga untuk diri saya.

Namun sejak awal, saya juga sadar ada resiko saya tidak bisa hamil. Hasil inseminasi kami gagal. Dokter mengatakan tidak ada yang salah dari kami dan menyuruh kami banyak-banyak berdoa. Terima kasih sarannya, Dok, tapi saya lebih suka jawaban medis dari Anda. Saya ingin melakukan lebih banyak tes, namun dokter bilang tidak perlu. Memang ada kemandulan yang tidak atau belum diketahui penyebabnya.

Tapi kemandulan bukanlah pilihan, berbeda dengan ingin memiliki anak atau tidak. Beberapa wanita terlahir atau mengalami kondisi tertentu yang menyebabkannya sulit atau tidak bisa hamil. Saya melihatnya sebagai hal yang bisa terjadi pada siapapun. 

Kemandulan terjadi bukan karena dosa atau kutukan. Kalau itu terjadi pada saya, saya bisa menerima dan tidak mau menyalahkan diri saya. Suami saya, yang (sepertinya, sih) sangat mencintai saya, juga tidak menyalahkan saya. Saya berterima kasih kepadanya. Tapi saya rasa kalau keadaan kami berbalik, saya akan melakukan hal yang sama: menerima dirinya seperti apa pun.

Saya adalah wanita yang beruntung. Saya beruntung karena pada akhirnya pilihan saya sejalan dengan apa yang diterima orang banyak. Saya beruntung karena saya dan suami dapat berdiskusi mengenai hal ini. Di luar sana banyak wanita yang bahkan tidak dapat memilih untuk dirinya sendiri. 

Harapan saya, artikel ini dapat memberi suatu sudut pandang baru. Bahwa memilih untuk punya anak bukanlah hal yang mudah bagi semua wanita. Tiap orang memiliki alasannya masing-masing. Sudah saatnya kita belajar untuk menghormati keputusan-keputusan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun