Mohon tunggu...
Veny Aritonang
Veny Aritonang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hello! Welcome!

Menjadi penulis adalah impian masa kecil saya yang tidak pernah dan tidak bisa hilang.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Antara Childfree atau Memiliki Anak: Apakah Sebenarnya Saya Bisa Memilih?

9 September 2021   17:05 Diperbarui: 10 September 2021   08:13 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: unsplash.com

Kebahagiaan yang saya rasakan membuat saya mengevaluasi keraguan saya untuk memiliki anak. Meskipun hidup saya jauh dari sempurna, saya menyadari, dengan sedikit ketakjuban, bahwa pada titik itu saya sudah menjadi orang dewasa yang lumayan puas (content) atas hidupnya. Kalaupun saya ternyata menjadi ibu yang kacau (kemungkinan besar, sih, akan seperti itu), paling tidak anak saya tidak akan menderita-menderita banget lah.

Jadi, alasan saya pada akhirnya menginginkan punya anak bukan karena ada yang kurang dalam hidup saya, melainkan karena akhirnya saya memiliki sebuah kepercayaan diri. Saya tidak dapat memastikan apakah kelak jika saya punya anak, ia akan jadi orang jahat atau orang baik. Tapi saya bisa memastikan, jahat atau baik, ia tidak akan buang sampah sembarangan.

Sebelum ini saya selalu gelisah dan bertanya-tanya apakah perbuatan saya bertanggung jawab, tidak menggunakan alat kontrasepsi dan meminum obat-obat penambah kesuburan di saat saya bahkan tidak yakin untuk punya anak. Saya memutuskan saya hanya akan melakukan program hamil yang lebih serius seperti inseminasi atau bayi tabung jika saya benar-benar siap dan benar-benar ingin punya anak. 

Saya butuh waktu tiga tahun untuk akhirnya memilih inseminasi. Hati saya lega karena keputusan saya akhirnya bulat. Saya bisa bilang sekarang, bahwa saya mencoba hamil bukan hanya untuk suami, tapi juga untuk diri saya.

Namun sejak awal, saya juga sadar ada resiko saya tidak bisa hamil. Hasil inseminasi kami gagal. Dokter mengatakan tidak ada yang salah dari kami dan menyuruh kami banyak-banyak berdoa. Terima kasih sarannya, Dok, tapi saya lebih suka jawaban medis dari Anda. Saya ingin melakukan lebih banyak tes, namun dokter bilang tidak perlu. Memang ada kemandulan yang tidak atau belum diketahui penyebabnya.

Tapi kemandulan bukanlah pilihan, berbeda dengan ingin memiliki anak atau tidak. Beberapa wanita terlahir atau mengalami kondisi tertentu yang menyebabkannya sulit atau tidak bisa hamil. Saya melihatnya sebagai hal yang bisa terjadi pada siapapun. 

Kemandulan terjadi bukan karena dosa atau kutukan. Kalau itu terjadi pada saya, saya bisa menerima dan tidak mau menyalahkan diri saya. Suami saya, yang (sepertinya, sih) sangat mencintai saya, juga tidak menyalahkan saya. Saya berterima kasih kepadanya. Tapi saya rasa kalau keadaan kami berbalik, saya akan melakukan hal yang sama: menerima dirinya seperti apa pun.

Saya adalah wanita yang beruntung. Saya beruntung karena pada akhirnya pilihan saya sejalan dengan apa yang diterima orang banyak. Saya beruntung karena saya dan suami dapat berdiskusi mengenai hal ini. Di luar sana banyak wanita yang bahkan tidak dapat memilih untuk dirinya sendiri. 

Harapan saya, artikel ini dapat memberi suatu sudut pandang baru. Bahwa memilih untuk punya anak bukanlah hal yang mudah bagi semua wanita. Tiap orang memiliki alasannya masing-masing. Sudah saatnya kita belajar untuk menghormati keputusan-keputusan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun