Ketika saya memutuskan menikah, tidak sekejap pun saya berpikir soal rencana memiliki anak. Bagi saya, memiliki anak dan memilih partner hidup adalah dua komitmen yang terpisah, bukan buy 1 get 1Â alias dua komitmen di dalam satu paket.Â
Memiliki anak, sama seperti memilih pasangan hidup, adalah keputusan yang sangat serius. Untuk komitmen sebesar itu saya cuma mampu memikirkan satu dalam satu waktu. Saya butuh waktu bertahun-tahun sebelum saya mengambil keputusan pertama. Otomatis, untuk memikirkan komitmen kedua, saya butuh waktu yang tidak kalah panjang.
Makanya saya begitu terkejut ketika mengetahui bahwa yang berpikir demikian sepertinya hanya saya sendiri saja. Orang pertama yang memiliki pendapat berbeda adalah suami saya, yang saya pikir adalah belahan jiwa dan cerminan hati saya. Kedua, keluarga kami. Ketiga, rupanya, semua orang di sekitar kami. Sepertinya ini adalah norma umum: bila kamu menikah, artinya kamu sudah siap memiliki anak.
Saya bukannya tidak pernah berpikir untuk memiliki anak, namun saya selalu berpikir tidak saat ini. Berikut adalah beberapa hal yang membuat saya tidak terlalu antusias untuk segera memiliki, bahkan mulai mempertimbangkan untuk tidak memiliki anak.Â
Pertama, bumi sudah terlalu banyak dipenuhi manusia. Saya hanya manusia biasa, bukan superhero, yang hanya bisa berbuat hal-hal kecil saja untuk bumi. Mematikan lampu, hemat air, tidak buang sampah sembarangan dan tidak memiliki anak adalah hal-hal yang mampu saya lakukan.
Kedua, saya bukan orang yang suka anak-anak. Tentu saya tidak sampai hati berkata saya benci anak-anak. Mereka juga manusia yang harus diperlakukan dengan baik. Tapi ya, itu. Saya menganggap anak-anak tidak terlalu berbeda dengan orang dewasa. Malah, saat melihat seorang bayi, saya tidak berpikir, "wah, kamu terlihat lucu, ya!", melainkan "wah, kamu terlihat merepotkan sekali, ya!".
Ketiga, dunia ini kejam. Melahirkan bayi ke dunia yang kejam ini terlihat seperti sebuah keegoisan. Bukan berarti orang yang ingin punya anak itu salah. Hanya saja, saya pikir orang itu harus benar-benar bertanggung jawab sebelum mengambil keputusan tersebut. Saya tidak tahu apakah saya siap dengan tanggung jawab sebesar itu.
Keempat, saya merasa tidak siap secara psikis dan saya rasa ini alasan terbesar saya. Ini terkait dengan kesehatan mental saya sendiri. Saya masih perlu belajar untuk mencintai diri sendiri. Bagaimana saya bisa mengajarkan kepada anak saya kelak bagaimana cara untuk mencintai dirinya, kalau saya saja masih belum tahu caranya?
Kelima, saya tidak siap secara fisik. Ketika hamil, wanita akan mengalami perubahan fisik yang besar dan akan berdampak di sepanjang hidup si wanita. Ketika melahirkan, wanita hanya punya dua pilihan: vagina yang robek atau perut yang robek. Beberapa wanita beruntung tidak perlu mengalami keduanya. Namun, tidak semua.Â
Saya selalu memikirkan hal ini. Kodrat wanita adalah hamil dan punya anak, kata orang-orang. Tapi apakah wanita sendiri, sebagai pihak yang akan mengalami perubahan-perubahan fisik pada tubuhnya, tidak bisa memilih untuk dirinya sendiri? Bahkan untuk sekedar memilih kapan ia siap menghadapi perubahan fisik tersebut?