(peringatan: mengandung spoiler)
Film remaja, bila ditonton oleh orang yang bukan lagi remaja seperti saya, biasanya akan membuat saya bernostalgia mengenang masa-masa sekolah. Moxie (2021) yang ditayangkan di Netflix sejak 3 Maret lalu pun demikian. Namun tidak seperti kebanyakan film remaja lainnya, film ini tidak membuat saya mengingat kisah persahabatan atau percintaan, melainkan perlakuan-perlakuan misoginis apa yang terjadi saat saya sekolah dulu, baik yang saya alami sendiri ataupun yang saya saksikan.
Memang, tema besar dari film yang disutradai dan dibintangi Amy Poehler ini adalah feminisme dengan latar belakang kehidupan remaja di Sekolah Menengah Atas. Kisah bermula dari Vivian (Hadley Robinson), seorang perempuan 16 tahun yang bersama sahabatnya Claudia (Lauren Tsai) lebih senang memantau dan membicarakan tentang apa yang terjadi di sekitar mereka daripada menjadi pusat perhatian.
Kelasnya kedatangan murid perempuan baru, Lucy (Alycia Pascual-Pena), yang dengan segera berani menyuarakan pendapatnya tentang sexisme di dalam kelas. Hal ini membuat Mitchell (Patrick Schwarzenegger), kapten tim football yang populer namun suka melakukan bullying, segera menjadikan Lucy sebagai target.
Selanjutnya, Vivian melihat di depan matanya bagaimana Mitchell memojokkan Lucy dan berusaha membuatnya terintimidasi. Vivian kemudian menasehati Lucy agar mengabaikan Mitchell dan menjelaskan bahwa apa yang Mitchell lakukan hanyalah hal yang biasa ia lakukan pada siapapun.
"If you keep your head down, he'll move on and bother somebody else", ujar Vivian. Lucy menolak saran Vivian. Jawab Lucy, "thanks for the advice, but I'll keep my head high".
Keberanian dan keteguhan Lucy mendorong Vivian yang sebelumnya dicap sebagai siswa penurut di sekolah, diam-diam membuat sebuah majalah provokasi bertema feminis berjudul Moxie. Vivian juga terinspirasi dari ibunya, Lisa (Amy Poehler), yang di saat remaja adalah seorang feminis yang turut aktif di berbagai protes dan kegiatan bertema feminis. Perlahan Moxie menjadi populer dan mendapatkan banyak dukungan dari murid-murid. Moxie lalu berbuah menjadi sebuah gerakan feminis di sekolah tersebut.
Moxie tidak hanya didukung oleh murid-murid perempuan. Seth, yang menjadi love interest Vivian di film tersebut, tidak malu untuk menyatakan dukungan dan solidaritasnya terhadap gerakan feminis Moxie dengan menggambar tattoo temporer di punggung tangannya.
Meskipun latar belakang cerita adalah sebuah sekolah di Amerika Serikat, namun masalah yang diangkat adalah hal yang universal. Pelecehan dan diskriminasi pada wanita terjadi dimana pun dan sering kali dimulai bahkan sejak wanita berusia muda. Sayangnya, perlakuan tersebut sering kali dianggap wajar oleh masyarakat, bahkan seolah sudah menjadi bagian dari budaya yang sulit atau mungkin terlalu merepotkan untuk diubah.
Di dalam film, bentuk pengabaiaan ditunjukkan oleh sikap awal Vivian yang mendiskreditkan perilaku Mitchell terhadap Lucy. Sikap yang sama ditunjukkan Kepala Sekolah Shelly saat Lucy mengadukan perbuatan Mitchell. Shelly turut mengabaikan perbuatan Mitchell, alasannya adalah reputasi Mitchell sebagai atlit yang membanggakan sekolah. Padahal, sang Kepala Sekolah seharusnya menjadi pelindung bagi semua murid, termasuk murid perempuan. Kejadian ini seolah merepresentasikan banyak kejadian di dunia nyata dimana pihak yang berwenang sering kali tidak dapat diandalkan.