sekolah favorit di tempat kita tinggal adalah impian sebagian besar anak dan juga para orang tua. Tujuan utama tentu saja mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih baik.
MasukSekolah-sekolah terbaik sudah menjadi incaran sejak jauh-jauh hari. Bahkan mereka sudah melakukan tes penerimaan jauh sebelum ujian akhir.Â
Namun apa daya tidak semua anak bisa menggapai impian itu. Bukan semata karena gagal lulus tes penerimaan. Tetapi lebih kepada keterbatasan dana pendidikan.
Bayangkan saja, untuk masuk sekolah (swasta) terbaik dibutuhkan dana belasan hingga puluhan juta. Itu baru untuk uang pangkalnya saja. Belum tetek-bengek yang harus dibayar di awal maupun nanti tiap bulannya.
Harus diakui ada yang harus dibayar mahal jika ingin mendapatkan pendidikan terbaik di negeri ini. Tenaga pendidik di sekolah-sekolah favorit negeri atau swasta tentu saja berkualitas. Tidak sedikit guru-gurunya lulusan S-2. Sarana dan prasarana penunjang proses belajar mengajar sudah pasti lengkap. Termasuk fasilitas untuk kegiatan ekstra kurikuler.
Sekolah favorit dianggap mempunyai lingkungan pendidikan yang lebih baik. Persaingan yang ketat dan PR yang menumpuk dianggap mampu menjauhkan anak dari hal-hal negatif seperti tawuran misalnya. Walaupun tidak semua, karena beberapa sekolah favorit mempunyai tradisi tawuran dengan sekolah tertentu.
Memasukkan anak ke sekolah favorit yang sudah pasti memerlukan biaya tinggi. Tetapi di sisi lain itu bisa disebut sebagai sebuah investasi masa depan.Â
Output dari sekolah favorit tentu sekolah lanjutan atau perguruan tinggi favorit. Apalagi jika sedang membidik untuk sekolah di luar negeri.
Faktor gengsi ikut menjadi alasan mengapa orang tua mencari sekolah favorit untuk anak-anak mereka. Ada kebanggaan tersendiri ketika ada yang bertanya di mana sang anak sekolah. Lihat saja lini masa media sosial beberapa hari terakhir.
Namun bagaimana jika anak tidak masuk sekolah favorit karena gagal dalam tes penerimaan atau karena keterbatasan dana?
Perasaan sedih dan kecewa adalah hal yang wajar. Bisa dibayangkan perasaan anak melihat teman-temannya masuk sekolah favorit dan dia tidak. Â Walau secara akademis dia jauh lebih baik.
Kekecewaan harus segera disembuhkan. Obatnya adalah komunikasi heart to heart. Sekaligus mulai sedikit terbuka dengan kemampuan finansial keluarga.
Sebenarnya yang paling penting adalah memberi pemahaman kepada anak kalau sekolah favorit bukan penentu masa depan seseorang. Bukan jaminan pasti jika bersekolah di sekolah terbaik lantas bisa dipastikan ia akan menjadi seseorang yang sukses.
Sekolah non favorit juga memiliki potensi mencetak pribadi unggul. Baik unggul secara kepribadian maupun akademis. Padahal banyak kisah inspiratif yang datang dari anak-anak yang bersekolah di sekolah 'biasa-biasa' saja. Mereka bisa juara olimpiade sains atau lulus dengan nilai paling tinggi mengalahkan siswa-siswa sekolah favorit.
Tekankan pada anak bahwa memiliki moral dan budi pekerti yang luhur adalah nilai hidup untuk masa depan. Dan itu bisa diperoleh tanpa harus bersekolah di sekolah favorit.
Jika alasan tidak masuk sekolah karena terbatasan dana maka orang tua perlu meminta maaf. Sekaligus memberi pemahaman bahwa tiap keluarga mempunyai kemampuan finansial yang berbeda-beda. Jika dikomunikasikan secara bijak, anak pasti dapat menerima.
Mengerti dengan kondisi ekonomi keluarga sejak dini bisa menjadi pelecut bagi anak untuk belajar lebih baik. Perlu dicatat bahwa di sekolah-sekolah yang biasa-biasa aja saja malah mempunyai program beasiswa yang lebih banyak, terutama donator dari pihak luar sekolah.
Bagi orang tua yang punya ambisi menyekolahkan anak ke sekolah favorit namun gagal sebaiknya tidak larut dalam kekecewaan yang berujung dengan menyalahkan anak terus-terusan.
Kecenderungan sekolah favorit memberi PR bejibun yang menyita waktu bermain anak itu sesungguhnya kurang bagus bagi tumbuh kembang anak. Apalagi untuk anak-anak SMP yang sedang dalam peralihan.
Bagaimana pun juga harus tetap ada kebijakan yang disepakati bersama dalam pembagian waktu belajar di rumah. Apalagi hampir masing-masing anak saat ini mempunyai gawainya sendiri. Di mana games dan media sosial dapat menjadi candu yang menjauhkan anak-anak dari tugasnya sebagai anak sekolah yaitu belajar.
Sebenarnya ada blessing in disguise ketika anak bersekolah di sekolah yang biasa aja. Apa itu? Tidak lain status sosial yang relatif sama. Anak tidak akan merasa minder, dikucilkan atau yang lebih buruk mengalami perundungan. Ada banyak kasus di mana anak berusaha mengikuti gaya hidup teman-temannya padahal ia tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Hal ini dapat menimbulkan masalah tersendiri.
Sekali lagi bahwa sekolah favorit atau sekolah biasa saja, negeri atau swasta, sama-sama bisa memberikan bekal masa depan anak.Â
Keterbatasan untuk bersekolah di sekolah favorit bisa disiasati misalnya dengan belajar mandiri yang lebih keras. Atau bisa mengambil les-les yang biayanya terjangkau. Selain  itu gadget harus dimanfaatkan secara maksimal sebagai alat bantu belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H