Jembatan Babarsari sendiri menjadi salah satu tempat latihan SRT (single rope  technique). Biana sih anak-anak mapala dan PMI yang latihan di situ terutama pada hari sabtu dan minggu.
Seiring berjalannya waktu, Babarsari semakin ramai tentu saja dengan pendatang. Baik mereka yang kuliah maupun yang mengambil peluang usaha.
Tahun 2000 sampai 2003 bisa dibilang hampir setiap hari ke Babarsari. Masa-masa di mana warnet dan game-net sedang ramai walau koneksi masih dibawah 1 mbps. Saya bekerja di salah satu warnet yang buka 24 jam dan tepat berada di sebelah kampus UAJY. Persis berseberangan dengan sebuah wartel yang ada di belakang kampus UPN Veteran.
Apakah masa itu ada keributan di kawasan itu? seingat saya pernah juga. Tapi rasanya tidak sampai bakar-bakaran. Dalam rentang 3 tahun di Babarsari mungkin sekali-dua kali saja. Ya, perkelahian antar kelompok juga sih.
Tapi bisa dibilang Babarsari relatif aman siang maupun malam. Nongkrong di angkringan sampai penjual angkringannya 'kukut' juga santai-santai saja. Kalau masuk shift sore pulang jam 12 malam, tidak kawatir ada begal atau klithi.Â
Kalau giliran shift malam-pagi, ya tetap merasa aman-aman karena ada warga asli situ yang kadang jadi teman ngobrol. Itulah hal positif yang bisa kita dapat jika bersahabat dengan warga asli.
Babarsari terus menggeliat semakin ramai, pergerakannya sampai ke arah seturan. Â Kontrakan rumah atau ruko semakin mahal. Â Itu juga menjadi sebab warnet hanya berjalan 3 tahun saja. Sewa tidak bisa diperpanjang. Mungkin sang pemilik akan menyewakan lagi dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Masyarakat asli  Yogyakarta asyik-asyik. Enak diajak kekancan (berteman) maupun duluran (saudaraan). Penting bagi kita sebagai pendatang misalnya untuk membaur. Baik dengan sesama pendatang maupun warga asli. Jadi bagaimana bisa Babarsari yang dulu bersahabat bisa jadi Gotham City?Â
Babarsari tentu tidak ingin dikenal sebagai Gotham atau Barbar City. Pihak pemerintah daerah harus mencari akar permasalahan agar kejadian serupa tidak terulang.
Yogyakarta boleh menjadi kota yang lebih maju. Lembagai pendidikan, mall dan hotel ramai berdiri. Namun nilai-nilai budaya dan ketentraman kota yang seperti saya dan banyak 'alumni Jogja' pernah rasakan 20 tahun lalu itu harus tetap sama-sama dijaga.Â
Apalagi jika status kita sebagai pendatang. Jadilah tamu yang baik, bukan malah jadi perusuh.