Kongres MAN ke-5 mengambil tema "Laksanakan Perubahan Negara dengan Tindakan Nyata". Diihadiri seluruh anggota Masyarakat Adat yang ada di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 2000 orang. Â Tercatat peserta dari Provinsi Jambi sendiri hadir 100 peserta, Kalimantan Barat 90-an peserta, Kalimatan Timur 80 peserta, NTT 42 orang, Papua mengirim 13 peserta kongres.
Selain itu hadir juga peninjau dari luar negeri seperti dari Amerika Latin, Amerika Tengah. Beberapa peserta di barisan tamu undangan tampak hadir anggota para Bupati, DPRD, utusan dari Kedutaan Besar Norwegia, utusan PBB, serta beberapa NGO. Total acara ini melibatkan kurang lebih 5 ribu orang, termasuk panitia.
Dalam sambutannya Sekjen AMAN, Abdon Nababan menegaskan AMAN menagih komitmen pemerintah terhadap Masyarakat Adat. Masyarakat Adat tidak akan mengedepankan konfrontasi, tetapi tetap mengedepankan dialog-dialog sebagai alat perjuangan atas hak-hak Masyarakat Adat. AMAN berharap ada realisasi nyata dari pemerintah terhadap apa yang menjadi hak masyarakat adat.
Pemerintah juga akan akan melanjutkan proses pengembalian hutan adat seluas 7.000 Ha dari PT TPL (Toba Pulp Lestari) yang selama ini menjadi permasalahan. Desember 2016 lalu pemerintah berhasil membebaskan 5.100 Ha juga dari PT.TPL. Â Sepertinya langkah serupa akan dilakukan Presiden Jokowi terhadap hutan-hutan adat yang selama ini dikuasai oleh korporate tertentu akan dikembalikan kepada Masyarakat Adat.
Presiden Jokowi juga menginginkan dilakukan pemberdayaan ekonomi produktif baru bagi masyarakat. Presiden tidak menginginkan tanah/lahan yang sudah dilepas kepada masyarakat nantinya kembali jatuh kepada pemilik modal karena masalah ekonomi yang dialami masyarakat seperti yang terjadi pada banyak kasus.
Maka dari itu pemerintah berusaha untuk membuka akses pasar terhadap Masyarakat Adat. Hasil-hasil hutan, ladang, atau kerajinan tidak akan berarti jika tanpa akses pasar. Karena pasarlah yang nantinya akan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat Adat.
Sejauh ini pemerintahan Jokowi tetap berkomitmen untuk menjalankan moratorium pembukaan lahan perkebunan sawit. Sesuai dengan UU Kehutanan dan Tata Ruang dimana luas hutan di sebuah pulau adalah 30 persen dari luar daratan. Sedangkan persoalan tanah dan hutan ulayat yang menjadi hak Masyarakat Adat pemerintah mengakui bahwa itu bukan perkara yang mudah. Perlus sinergisitas antara Kementerian LHKK, Kementerian Agraria dan Tata Ruang ATR), serta Kementerian Dalam Negeri.