Mohon tunggu...
Venusgazer EP
Venusgazer EP Mohon Tunggu... Freelancer - Just an ordinary freelancer

#You'llNeverWalkAlone |Twitter @venusgazer |email venusgazer@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

IPK Tiga Koma tapi Tidak Tahu Apa-apa

5 Januari 2017   02:29 Diperbarui: 5 Januari 2017   14:06 11356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem pemberian nilai yang murah dan tidak ketatnya absensi boleh dikatakan jamak terjadi di perguruan tinggi swasta. Namun tidak semua, ada banyak juga perguruan tinggi swasta bermutu yang menerapkan syarat kehadiran sekian persen untuk bisa ikut ujian semester.

Ya inilah potret pendidikan kita. Dengar-dengar kualitas pendidikan kita berada di peringkat sekian dunia dari bawah. Tidak tertolong dengan banyaknya prestasi anak-anak Indonesia yang sering berjaya di ajang lomba Olimpiade Sains.

Mau apa dikata, makanya tidak heran jika PIZZA HUT berubah menjadi FITSA HATS. Eits..jangan ketawain si habib. Ada banyak dari kita pun suka salah-salah eja. KFC dibaca KA-EF-SI. Bahasa Inggris bukan, Bahasa Indonesia juga bukan.

Kembali ke IPK yang tinggi, tiga koma atau bahkan empat. Rasanya pihak berwenang, yang mengurusi perguruan tinggi membuat standar yang betul-betul ketat agar output dari perguruan tinggi negeri maupun swasta benar-benar berkualitas.

Perguruan tinggi swasta harus membentuk etos belajar yang tinggi sejak semester awal dengan disiplin dalam memberi nilai. Jika perlu harus lebih ketat dibanding perguruan tinggi negeri. Karena ketika lulus dan harus bersaing dalam mencari pekerjaan lulusan perguruan tinggi swasta tidak dipandang sebelah mata.

Saya yakin si A tidak sendiri. Ada ribuan sarjana-sarjana dengan IPK tiga koma yang tidak tahu apa-apa. Mungkin terlalu ekstrim mengatakan mereka tidak tahu apa-apa. Tapi ini fakta dan saya beberapa kali menjumpai situasi ini.

Beberapa kali membaca di media sosial soal acara wisuda ‘abal-abal’. Dibilang abal-abal karena perguruan tinggi itu kampusnya tidak jelas dimana. Mahasiswa cuma datang pas acara wisuda saja. Ijazah keluar dengan transkrip IPK tiga koma sekian. Ini bukan terjadi untuk sarjana S1 saja, S2 juga banyak yang ijazahnya beli.

Ya potret carut-marutnya pendidian nasional. Sekian puluh tahun merdeka, masalah yang sangat mendasar bagi sebuah bangsa ini tidak pernah tuntas terselesaikan. Bagaimana kita mau bersaing di era pasar bebas? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.

salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun