Pertama, bagaimana seorang sarjana S1 tidak tahu bagaimana membuat sebuah surat lamaran kerja dan CV yang baik dan benar. Ada banyak contoh di internet yang harusnya bisa dimanfaatkan. Seorang sarjana harusnya harus punya inisiatif dan kemampuan berpikir memecahkan masalah.
Kedua, bagaimana seorang sarjana S1 yang akan terjun ke dunia kerja tidak tahu apa itu finance. Bahkan pengucapannya saja salah karena dibaca ‘fi-nan-ce” layaknya Bahasa Indonesia. "Finance itu apa bang?" Duh, bisa dibayangkan seorang sarjana ekonomi tidak tahu apa itu finance!
Ketiga, pengetahuan tentang internet yang buruk. Tidak tahu bagaimana caranya submit attachment. Tidak tahu mana situs lowongan kerja yang benar mana yang abal-abal.
Keempat, kemampuan berbahasa Inggris yang juga buruk. Ada yang menarik ketika di sebuah lowongan tertulis “Full Time”. Si A bilang,”wah..gak maulah aku ngelamar di situ. Masak kerja 24 jam Matilah awak!” Saya cuma tertawa dalam hati.
Sarjana S1 dengan IPK tiga koma ini juga tidak tahu apa itu TOEFL. Saya cek transkrip nilainya. Bahasa Inggrisnya dapat B, harusnya bisa dong bilang finance yang betul. Dosennya sungguh-sungguh murah hati tapi juga sungguh-sungguh keterlaluan.
Ada banyak ‘keganjilan’ yang saya temukan. Sebuah kenyataan yang membuat hati miris dan bertanya-tanya. Bagaimana pihak perguruan tinggi dengan jurusan yang statusnya TERAKREDITASI itu menghasilkan sarjana yang ‘kosong’?
Mungkin kasus di atas tidak dijumpai di perguruan-perguruan tinggi terkemuka di negeri ini. Untuk bisa masuk ke jurusan tertentu saja harus melalui seleksi yang begitu ketat. Dosen-dosennya pun tidak sembarangan dalam memberi nilai.
Bagaimana dengan perguruan tinggi swasta? Bukan rahasia lagi jika banyak perguruan tinggi swasta yang kualitasnya dipertanyakan. Nilai begitu diobral oleh dosen-dosen yang jarang datang. Mau kasih nilai ketat kasihan juga sama mahasiswa yang sudah membayar mahal. Syukur-syukur masih punya minat untuk kuliah.
Mungkin juga mereka tidak perduli para lulusannya mau jadi apa. Apalagi sekarang banyak orang bekerja tidak lagi sesuai dengan latar belakang study-nya. Banyak orang mendapat pekerjaan pun bukan dari hasil tes tetapi karena unsur orang dalam.
Gelar dan IPK lebih penting dari kemampuan yang sesungguhnya. Terpenting punya gelar sarjana karena itu adalah simbol dari status dan kebanggaan. Bukan untuk diri sendiri tetapi menyangkut nama keluarga. Skripsi boleh dari beli pun tidak jadi soal.
Kadang timbul pertanyaan dari mana datangnya nilai-nilai yang bagus itu? Apakah standarnya sama dengan standar yang ada di perguruan tinggi negeri misalnya? Jika berbeda, tentu nilai-nilai tinggi hanya akan membuai mahasiswa sejak semester pertama.