Mohon tunggu...
Venusgazer EP
Venusgazer EP Mohon Tunggu... Freelancer - Just an ordinary freelancer

#You'llNeverWalkAlone |Twitter @venusgazer |email venusgazer@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hal Mengumpat, Mencaci, dan Mencakar

17 Desember 2016   01:38 Diperbarui: 17 Desember 2016   02:27 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu kecil saya dilarang keras oleh orangtua untuk berkata-kata kotor dan kasar. Termasuk mengumpat. Lagi pula masa itu teman-teman sepermainan juga berprilaku seperti itu. Jadi dalam situasi apapun mulut tetap tidak bisa mengeluarkan umpatan yang ‘halus’ sekalipun.

Kebiasaan baik itu ternyata bisa berubah juga. Penyebabnya karena faktor lingkungan. Ketika kuliah saya bergaul dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Umpatan atau pisuhan (jawa) kerap terdengar. Harus saya akui, saya pun tertular untuk mengumpat.

Ada kalanya umpatan tidak ditujukan pada orang lain. Tetapi pada pada sebuah keadaan atau kondisi tertentu. Umpatan kadang dilontarkan sembari bercanda. Lama-lama kesan kasar dari umpatan tersebut memudar.

Semuanya tergantung pada situasi. Kalau yang mengumpat teman sendiri, tidak akan merasa tersinggung. Apalagi jika umpatan tersebut memang sudah menjadi bagian dari kosakata wajib dalam pergaulan.

Sebut saja kata “a** atau k****”  dan “j*****”. Di Jogjakarta atau Surabaya, dua kata tersebut jamak terdengar. No hard feelings saja, nggak perlu masukin hati, kalau ada yang ngomong gitu. Dari intonasi bisa dibaca arahnya.

Sekarang saya mau mengumpat kepada siapa? Nggak mungkin juga mengumpat di rumah. Tentu bisa jadi contoh buruk bagi anak-anak,

Tempat mengumpat yang aman adalah di jalan! Mengumpat pada orang yang tidak kita kenal. Sebisa mungkin umpatan kita itu tidak terdengar oleh yang bersangkutan.

Kata-kata yang sering keluar adalah “dasar goblok”. Saya tujukan pada pengendara-pengendara yang seenaknya melanggar lampu merah. Di Medan, menurut saya adalah kota dengan tingkat kesadaran tertib berlalulintas yang buruk. Mulai dari berhenti melewati garis sampai dengan santai menerobos lampu merah. Buat para pendatang yang sudah memiliki budaya tertib tinggi hal ini benar-benar menjengkelkan.

Bukan cuma angkot atau sepeda motor. Pengemudi mobil-mobil high class pun punya prilaku yang tidak kalah buruknya. Belum lagi becak motor yang suka seenaknya belok tanpa menyalakan lampu sein. Gimana coba? jarang ada becak motor yang benar-benar lengkap lampunya.

Perasaan jengkel ditengah kondisi jalanan macet dan panas perlu ada pelampiasan. Ya itu tadi dengan mengumpat. Mulai mengumpat dalam hati sampai setengah keras. Setengah keras itu maksudnya biarlah diri sendiri saja yang mendengar.

Tapi pernah juga sih ngumpat keras sambil melotot, pas hampir tabrakan. Ada orang seenaknya nyelonong lampu  merah dan nyaris bikin celaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun