Medali Olimpiade itu harga diri dan juga sebuah prestige bagi sebuah negara. Untuk meraihnya diperlukan perjuangan yang luar biasa berat. Persiapan panjang bertahun-tahun dilakukan untuk mencapai level tertinggi. Dan sudah tentu dana yang dihabiskan pastilah sangat besar.
Bagi negara-negara kaya namun minim sumber daya atlet, naturalisasi adalah jalan keluar. Contohnya Bahrain yang sejauh ini sudah meraih 1 medali emas dan 1 perak dari cabang atletik Olimpiade Rio 2016. Meninggalkan Indonesia yang sejauh ini baru mengumpulkan 2 perak.
Atlet mereka Ruth Jebet sukses meraih emas cabang atletik di lari halang rintang 3000 meter putri. Ia sukses mengalahkan Hyvin Jepkemoi asal Kenya.Â
Pelari kelahiran Kenya 19 tahun lalu itu memang sejak 2013 mewakili Bahrain dalam kejuaraan atletik internasional. Ruth Jebeth tidak sendiri yang berstatus naturalisasi. Â Atlet Bahrain yang lolos kualifikasi untuk berlaga di Olimpiade Rio 2016 semuanya berstatus naturalisasi.
Ternyata naturalisasi atlet bukan monopoli negara-negara kaya di Timur tengah seperti Bahrain atau Qatar yang banyak ‘mengambil’ atlet asal Afrika. Beberapa negara seperti Azerbaijan, Turki, Kanada, Austria, Argentina, Canada, Spanyol dan bahkan Belanda pun juga memiliki atlet hasil dari naturalisasi. Di Brasil sebagian besar atlet kontingen Azerbaijan adalah hasil naturalisasi. Negara petroleum ini mengimpor pemain dari Ukraina dan Cuba.
Inggris saja di Olimpiade London 2012 banyak melakukan naturalisasi atlet dengan total 60 atlet. Di mana kebijakan ini mendapat kritikan pedas dari dalam negeri sendiri. Sama seperti Amerika Serikat yang harus mengimpor atlet-atlet asal China untuk Tenis Meja, Selandia Baru cabang Kayak, pelari-pelari jarak jauh dari Kenya, dan atlet berkuda asal Australia untuk berlaga di Olimpiade Beijing 2008.
Fenomena naturalisasi sudah berlangsung sejak lama. Terjadi karena adanya supply dan demand. Banyak atlet berpotensi yang kalah bersaing di dalam negeri menyeberang membela negara lain demi bisa berlaga di Olimpiade. Di samping adanya tawaran menggiurkan dari negara-negara yang butuh atlet berprestasi.
Siapa yang tidak tertarik dengan tawaran gaji 1000 dollar per bulan plus jaminan kesejahteraan lainnya selama seumur hidup! Lihat apa yang dilakukan Qatar tahun 2000 ketika mereka memboyong seluruh atlet angkat besi Bulgaria dengan nilai 1 milyar dollar? Nilai yang sangat besar terutama bagi atlet-atlet dari Afrika dan Eropa Timur tentunya.
Selain atlet asal Afrika dan Eropa Timur, Tiongkok juga banyak mengekspor atlet untuk berlaga membela negara lain. Silakan tengok cabang Tenis Meja, kita seperti menonton Tiongkok vs Tiongkok. Beberapa atlet kelahiran Tiongkok ternyata bertanding membela bendera negara lain. Sebut saja Li Jiao dan Li Jie yang kini membela Belanda. Lalu ada Liu Jia dan Li Qiang Bing yang mewakili Austria. Atlet-atlet tetangga kita Singapura pun banyak yang kelahiran Tiongkok.
Persaingan yang sangat ketat sesama atlet untuk membela panji negara sendiri membuat banyak atlet Tiongkok mencoba peruntungan lain melalui naturalisasi sebagai jalan untuk bisa tampil di Olimpiade. Di samping faktor finansial dan masa depan. Toh kewarganegaraan sebagai warga negara Tiongkok tidak hangus.
Aturan internasional menyebutkan bahwa seorang atlet harus vakum selama 3 tahun terlebih dahulu dari pertandingan internasional sebelum ia membela negara barunya. Sebuah waktu yang cukup untuk persiapan panjang tentunya. Dengan aturan ini bisa saja, seorang atlet membela negara yang berbeda di setiap Olimpiade.
Bagi kita orang awam mungkin akan mempertanyakan di mana rasa nasionalisme dan patriotisme apalagi jika harus ‘melawan’ negara asal mereka. Mungkin sama seperti kita pernah mempertanyakan atlet bulutangkis kita yang berganti kewarganegaraan dan nama-nama hebat yang melatih atlet negara lain.
Semakin lama, meraih emas atau medali itu bukan lagi sebagai bagian dari patriotisme. Tidak penting lagi bendera mana dan lagu kebangsaan apa yang dikumandangkan. Karena memang dari sejarah yang berakar dari Olimpiade Yunani Kuno itu, spiritnya adalah pencapaian individu dalam olahraga.
Bagaimana dengan Indonesia? Dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta itu apa perlu melakukan naturalisasi agar "Indonesia Raya" berkumandang di Olimpiade Atau Asian Games?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H