Mohon tunggu...
Venusgazer EP
Venusgazer EP Mohon Tunggu... Freelancer - Just an ordinary freelancer

#You'llNeverWalkAlone |Twitter @venusgazer |email venusgazer@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jelajah Tangerang - Sabang dengan Vespa Roda Tiga

14 Desember 2015   08:55 Diperbarui: 15 Desember 2015   11:50 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Roni dan Fauzi menunjukan setifikat "Titik Nol" sebagai bukti mereka sudah menginjakan kaki di Sabang"][/caption]

"Mumpung masih muda, ingin sampai ujung Indonesia." Begitu ungkapan 2 pemuda asal Tangerang yang berhasil mencapai Titik Nol Indonesia dengan mengendarai vespa uniknya. Vespa dengan 3 roda.

Sabtu sore menjelang malam saya berkenalan dengan Roni (21) dan Fauzi (22). Berawal ketika seorang pemuda menghampiri saya yang sedang hendak menyeberang jalan. Ia menanyakan sebuah alamat. Tidak jauh tampak seorang lagi menunggu dekat kendaraan mereka.

[caption caption="Bergaya di vespa roda tiga yang dimodifikasi sendiri"]

[/caption]

Sebuah vespa yang telah dimodifikasi. Sebuah modifikasi yang sungguh ekstrim. Bayangkan, vespa dibuat ceper dan panjang. Roda belakang ada 2 yang dilengkapi masing 3 ban. tangki bahan bakar berada diatas jok penumpang. Dibuat dari bekas tangki kompresor. Vespa modifikasi dulu sering saya lihat semasa di Jawa. Tetapi di Medan rasanya baru kali itu.

Saya perhatikan penampilan keduanya boleh dikatakan kucel. Seperti habis melakukan perjalanan jauh. Sorry to say, mereka seperti orang yang beberapa hari belum mandi saja.

"Dari Bandung ya?" tebak saya mendengar logat mereka berbicara.

"Bukan, kami dari Tangerang."

"Naik ini..dari Tangerang..gila, mau kemana?" sembari menunjuk kendaraan mereka.

"Mau pulang..." jawab seorang yang berambut keriting.

"Lho...emang dari mana?" tanya saya penasaran.

"Dari Sabang, pakde."

"Ha....Sabang....beneran ini.. sampai ke Titik Nol dong?" tanya saya setengah tidak percaya.

"Iya, pakde."

Dalam hati saya tersenyum. Lucu juga dipanggil 'pakde'. Iseng, saya menanyakan apakah mereka dapat sertifikat atau tidak. Jujur saya agak sangsi dengan pengakuan mereka.

[caption caption="Cukup ekstrim bukan?"]

[/caption]

Lalu salah seorang mengambil tas ransel yang di vespa lalu mengeluarkan sertifikat itu. Dalam hati saya agak menyesal menanyakan hal itu. Betul mereka berdua memang dari Sabang!

Mereka ternyata beristirahat sambil menunggu seseorang yang katanya mau memberi mereka ban vespa bekas. Setelah itu mereka hendak menuju ke alamat yang tadi ditanyakan.

Sebagai sesama perantau saya menawarkan mereka untuk mandi dan makan di rumah. Namun mereka menolak, mungkin merasa sungkan. Saya coba memaksa namun keduanya kukuh menolak secara halus.

Saya pikir tidak ada salahnya saya yang mengalah. Bergegas saya pulang mengambil apa yang ada di rumah dan membeli sebotol air kemasan. Berdua makan dengan lahap, menandaskan apa yang ada. Maklum saja sedari siang mereka belum mengisi perut sama sekali.

Roni dan Fauzi ternyata harus menempuh perjalanan selama 7 bulan untuk sampai ke Sabang. Bersama vespa 'ekstrim' tersebut mereka melalui kota-kota besar di Pulau Sumatera. Dari Bandar Lampung, Palembang, Jambi, Pekan Baru, Medan, Banda Aceh hingga akhirnya sampai di Sabang.

[caption caption="bagi yang tidak terbiasa, bukan perkara muda mengendalikan vespa ini"]

[/caption]

Kendaraan dengan mesin Vespa PX keluaran tahun '82 itu hanya bisa dipacu rata-rata 40 km/jam saja. Pengapiannya masih menggunakan platina, belum CDI. Jadi cukup sering juga mengalami gangguan pada mesin. Jadi bisa dimengerti butuh waktu berbulan-bulan untuk sampai ke ujung paling barat Indonesia.

Tidur lebih banyak dilakukan di SPBU. Jika beruntung klub Vespa setempat akan memberi tumpangan. Namun, tidak semua klub Vespa membuka diri terhadap mereka. Untuk mencukupi kebutuhan hidup selama diperjalanan keduanya bekerja serabutan mulai dari kuli bangunan sampai bantu-bantu di bengkel motor. Itu pula yang membuat perjalanan mereka memakan waktu yang lama.

Perjalanan menjelajahi Indonesia ternyata sudah pernah mereka lakukan sebelumnya. Keduanya sudah sampai ke Bima, NTB. Kala itu perlu waktu 5 bulan untuk sampai sana. Saya tertarik untuk menanyakan motivasi mereka berkelanan sampai Sabang.

"Motivasinya sampai Sabang?" tanya saya.

Keduanya sepertinya tidak siap dengan pertanyaan saya itu. Roni dan Fauzi saling berpandangan seperti orang bingung. Saya lalu coba memberi pertanyaan lain yang mungkin mudah untuk dijawab.

"Nggak...koq mau-maunya..capek-capek, dengan motor begini sampai ke Sabang"

"Mumpung masih muda, ingin sampai ujung Indonesia." Jawab Roni.

"Ingin tahu juga Sumatera, kota-kotanya gimana. Tapi memang tujuan utamanya sampai ke Sabang." tambah Fauzi.

"Kami juga khan nggak selamanya begini pakde. Ya selagi muda, lah."

Jawaban yang membuat saya terdiam sejenak. Membayangkan keduanya berkendara melewati kota-kota, perkebunan sawit, dan menembus hutan-hutan yang ada di Sumatera ini. Sebuah perjalanan yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan jalanan di Pulau Jawa.

Banyak suka duka selama di jalan. Dari mulai motor mogok hingga cuaca yang kadang tidak bersahabat. Pernah mereka suatu kali ditodong ketika berada di Lampung. Padahal mereka tidak membawa barang berharga. Uang pun pas-pasan.

"Ini orangtua tahu kalau mau pergi ke Sumatera." Tanya saya.

"Tahulah pakde, sudah ijin mereka." Jawab Roni.

"Pernah sakit?" tanya saya yang penasaran. Timbul pertanyaan dalam hati bagaimana mereka berkendara hanya dengan jaket tipis itu.

"Alhamdulillah nggak pakde." jawab Fauzi.

Dalam hati salut juga pada keduanya. Dengan kondisi seadanya mereka mampu menginjakan kaki ke Sabang. Sebuah perjalanan dengan misi khusus. Bukan sekedar touring biasa. Bukan bersama rombongan besar dengan kendaraan bagus seperti yang sering kita lihat di televisi.

Keduanya cuma mantan buruh sebuah pabrik yang ada di Tangerang. Kebetulan kontrak kerja mereka berakhir lalu mereka memutuskan untuk menyelesaikan misi yang lama sudah impikan.

Hari semakin gelap, jalanan semakin ramai dengan kendaraan. Maklum malam minggu. Saya tidak bisa berlama lagi dengan keduanya. Saya undur diri sambil meminta no hp. Mungkin suatu saat akan saya perlukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun