Saat ini yang sedang menjadi trending topik adalah Aksi berani Elanto Wijoyono yang menghadang rombongan moge. Semua itu berangkat dari kejengahan melihat arogansi dan dan kurang santunnya pengendara moge selama ini. Plus rasa kekecewaan terhadap pemanfaatan fasilitas negara yaitu voorrijder yang tidak pada tempatnya.
Kehadiran moge dan komunitas bikers di Yogyakarta sendiri untuk memeriahkan event Jogja Bike Rendezvous. Sekaligus memeriahkan perayaan HUT RI ke-70 yang dipusatkan di Candi Prambanan. Beberapa kalangan menilai bahwa moge-moge tidak akan memberi manfaat bagi masyarakat Yogyakarta. Kecuali polusi suara dan mungkin juga kecemburuan sosial.
Sempat saya baca di sebuah artikel media online, Elanto mengatakan “Tanpa Moge, Wisata Yogya Tetap Hidup”. Benar sekali, tidak bisa dipungkiri memang dari dulu Yogyakarta punya magnet tersendiri untuk menarik wisatawan. Wisatawan lokal maupun manca negara. Wisata Yogya memang hidup, tapi hidup yang seperti apa dulu?
"Warga itu tidak peduli dengan keuntungan itu, yang kami tahu, kami yang mendapatkan dampak negatifnya." Kata Elanto, yang saya kutip dari sini.
Jika hanya melihat dampak negatif dan menutup mata pada dampak positif ya tentu saja akan selalu membuat sikap penolakan. Koq rasanya egois sekali ya.
Kebetulan saya cukup lama tinggal di Yogyakarta dan sempat merasakan bekerja di sebuah hotel di kota pelajar tersebut. Event-event yang diadakan di Yogyakarta adalah berkah bagi orang-orang yang terlibat dalam industri ini. Baik itu langsung maupun tidak langsung.
Hotel-hotel di Yogyakarta yang jumlahnya semakin bertambah itu hanya ramai saat-saat tertentu saja. Yaitu libur akhir tahun, lebaran, dan libur sekolah. Selain itu hotel boleh dikatakan sepi, kecuali hotel-hotel yang punya jaringan dan marketing bagus.
Okupansi mencapai 50% saja sudah bagus, belum lagi jika kejadian tidak terduga seperti bencana alam atau aksi terorisme. Yang terjadi adalah perang harga, dan ini merugikan semua pihak. Kalau tidak percaya silakan cek di sini.
Jika hotel ramai berarti service charge akan naik. Imbasnya tentu pada para karyawan hotel. Gaji pokok pekerja hotel itu tidak besar 'lho. Jangan dipikir mereka yang bekerja di hotel bintang lima maka gajinya tinggi.
Mereka selalu berharap dari service charge. Makanya mereka selalu bekerja sebaik mungkin agar image hotel mereka bagus dan tamu akan kembali. Bagi pekerja hotel kasual alias bukan pekerja tetap pun sama. Semakin banyak tamu, semakin besar kans untuk mendapatkan uang sampingan dari tips misalnya. Sampai ada yang rela nyuci atau bersihin motor-motor tamu demi mendapatkan uang tambahan. Bayangkan jika ada 4 ribuan biker yang datang ke Yogyakarta!
Ini berkah juga bagi sopir taksi maupun tukang becak yang mangkal di sekitar hotel. Belum lagi tukang jual gudeg, bakpia atau cinderamata. Sedangkan bagi obyek wisata dan pelaku usaha di sana pasti ketiban rejeki. Mereka itu juga bagian dari masyarakat Yogyakarta, dan orang-orang kecil yang hidup dari pariwisata Yogyakarta.
Buat usaha ekspedisi termasuk sopir-sopirnya tentu saja ini bagus. Lha wong, banyak dari biker moge ini yang datang atau pulangnya tidak sama motornya. Biasanya mereka datang atau pulang pakai pesawat dan mogenya dipaketin. Atau kalau tidak ya sewa pengendara khusus moge.
Atau keuntungan bagi supplier-supplier yaitu penyedia kebutuhan hotel. Permintaan dari pihak hotel tentu akan meningkat baik itu ikan, daging, buah, sayur dan lain-lain. Banyak jika harus kita kupas satu persatu. Nah inilah yang selalu diharapkan dari sebuah event terutama yang diselenggarakan di Yogyakarta. Yaitu ada multi-effect yang bisa dirasakan oleh banyak pihak. Dunia pariwisata itu luas sekali, Mas.
Sebuah fan page “Tolak Jogja Bike Rendezvous” di Facebook telah dibuat. Mereka menyebut ini adalah gerakan moral dukungan masyarakat Yogyakarta menolak acara rutin Jogja Bike Rendezvours. Bisa jadi bentuk kemuakan mereka terhadap pengendara moge yang dianggap kurang ajar.
Bisa dimaklumi, bisa juga tidak. Karena peserta dari event ini bukan klub HD saja. Moge-moge buatan Jepang biasanya ikut hadir dan komunitas biker lain tentunya. Terus mengapa kekesalan pada kelompok biker tertentu harus juga ditimpakan kepada event-nya?
Mungkin sebagian orang akan menuduh saya hanya memikirkan aspek ekonomi semata. Bagaimana dengan aspek sosial dan kenyamanan masyarakat Yogyakarta? Buat saya aspek ekonomi sama pentingnya dengan aspek-aspek yang lain.
Buat mereka yang sudah hidup mapan atau masih terima uang kiriman dari ortu, atau mereka yang tidak bersinggungan dengan pariwisata Yogyakarta mungkin tenang-tenang saja. Tetapi bagi yang lain boleh dong dapat manfaat dari sebuah event yang mungkin hanya sekali dalam setahun itu. Di saat uang tabungan habis terkuras untuk lebaran dan bayar pendidikan anak, kemana lagi harus mendapat pemasukan?
Pasti ada solusi yang bijak bagi semua pihak. Pengendara moge yang santun tentu akan diterima oleh masyarakat manapun. Moge-moge itu kadang jadi tontonan tersendiri, barang langka yang mungkin hanya bisa dilihat di televisi. Jika ada event atau show banyak orang-orang tua yang sengaja bawa anaknya sebagai hiburan.
Jadi janganlah antipati yang berlebihan terhadap moge. Buang saja rasa kecemburuan sosial jika itu ada di hati kita. Soal ketidak-santunan mereka, semoga bisa jadi cermin bagi kita sendiri yang sering kali tidak santun dan tidak tertib berlalu-lintas. Saya yakin masyarakat Yogyakarta akan selalu welcome untuk segala event yang membawa kemajuan pariwisatanya.
sumber gambar : sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H