Mohon tunggu...
Venusgazer EP
Venusgazer EP Mohon Tunggu... Freelancer - Just an ordinary freelancer

#You'llNeverWalkAlone |Twitter @venusgazer |email venusgazer@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Guru Diskriminatif dan Pilih Kasih

15 April 2015   01:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:05 7480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal negatif apa yang diterima oleh anak ketika saat berada di sekolah selain di-bully temannya? Tentu yang ekstrim adalah pelecehan seksual. Selain itu ada 1 hal lain yang juga menyakitkan hati yaitu adanya diskriminasi dan sikap pilih kasih yang dilakukan oleh guru.

Diskriminasi yang dilakukan oleh guru memang agak susah untuk dibuktikan sehingga tidak akan ada sanksi yang bisa dijatuhkan. Pelaporan terhadap perilaku negatif seorang guru pun akan tidak jarang berujung pada pengucilan terhadap anak didik.

Anda atau anak anda pernah mengalami diskriminasi oleh guru atau dosen? Mendapat perlakukan, atau nilai yang seharusnya tidak kita terima? Padahal sebagai anggota warga sekolah, siswa punya hak dan kewajiban yang sama tanpa terkecuali sesuai dengan statusnya.

Bila dicermati ada beberapa faktor yang membuat seorang guru bersikap diskrimasi dan pilih kasih, antara lain:

Diskriminasi karena faktor SARA. Ada cerita yang berkembang mengapa orangtua dari etnis Tionghoa enggan menyekolahkan anaknya di sekolah negeri yang bermutu sekalipun. Mereka rela memasukan anaknya ke sekolah swasta yang mahal karena tidak rela anaknya dibully atau mendapat diskriminasi. Rela juga mengantar anaknya ke sekolah yang jauh dari rumah.

Mereka juga tidak asal pilih sekolah swasta, dimana sekolah swasta yang guru-gurunya tidak ada yang beretnis tionghoa pun tidak akan jadi pilihan. Seperti di Medan misalnya, ada beberapa sekolah swasta katolik/kristen murid yang beretnis tionghoa bisa dihitung dengan jari. Terutama di sekolah swasta yang semua gurunya pribumi. Padahal di kota besar seperti di P.Jawa sekolah ini jadi pilihan. Pikiran positif saya mengatakan isu ini bagian dari persaingan bisnis sekolah saja.

Ada ‘oknum’ guru yang melakukan diskriminasi atas dasar perbedaan agama. Menjadi kelompok minoritas dari agama apapun di sekolah harus siap mental karena ada guru-guru yang fanatik. Jangankan beda agama, yang agamanya sama pun dapat juga mendapat diskriminasi atas alasan tidak memakai jilbab misalnya. Sehingga tidak disangkal alasan murid memakai jilbab hanya agar mendapat nilai tambahan.

Faktor status sosial. Status sosial orangtua dianggap melekat pada murid sehingga jangan heran jika anak seorang pejabat tinggi daerah mendapat perlakuan dan perhatian lebih dari guru atau pihak sekolah. Sejak awal masuk pun murid sudah mendapat diskriminasi, mereka yang menyumbang uang gedung banyak akan dimasukan pada kelas terpilih. Sedangkan yang menyumbang ala kadarnya akan dimasukan pada kelas buangan. Atau orangtua yang kerap menjadi donatur acara sekolah akan diperlakukan istimewa oleh guru-guru. Saya suka melihat beberapa guru terlihat sangat ramah kepada orangtua murid yang bermobil misalnya dibandingkan dengan mereka yang hanya naik sepeda motor.

Faktor berikutnya adalah gratifikasi. Jangan dikira yang menerima gratifikasi hanya pejabat pemerintah saja. Guru mungkin profesi yang sering menerima gratifikasi. Memberi hadiah baik dalam bentuk barang ataupun uang kepada guru sebagai tanda terima kasih sudah jamak terjadi terutama pada saat kenaikan kelas.

Namun bagaimana dengan pemberian hadiah yang dilakukan pada tengah semester atau bingkisan oleh-oleh setelah liburan dari luar negeri?

Pada waktu terima raport akhir semester lalu saya agak terkejut ketika banyak orangtua murid memberikan amplop yang saya yakin isinya uang pada wali kelas anak saya. Saya pikir apakah itu budaya di sini? Lalu saya pikir apa perlu saya juga berlaku begitu? Saya batalkan ikut memberi guru tersebut karena saya pikir itu adalah tindakan yang tidak baik dan tidak perlu. Bukankah ia sudah menerima gaji dan memang sudah menjadi tugas dan kewajibannya untuk mengajar.

Mungkin sekedar tanda terima kasih, tapi saya pikir belum waktunya karena lebih layak diberikan pada saat kenaikan kelas dan guru tersebut tidak akan mengajar anak saya lagi. Dan saya tidak ingin anak saya mendapat nilai atau perhatian dari guru dengan cara ‘membeli’.

Saya tahu guru tentunya punya integritas, namun akan lebih berintegritas jika menolak pemberitan amplop karena bisa jadi akan mempengarui penilaian dan perhatian terhadap murid. Beberapa sekolah yang baik melarang guru menerima hadiah apapun dari murid, dan mereka menganjurkan pada pihak orangtua murid untuk tidak memberikan apapun karena dikawatirkan akan mengikat guru. Sama seperti larangan memberikan les privat bagi muridnya sendiri.

Kemudian karena faktor fisik dan gender. Bukan rahasia jika guru-guru laki-laki lebih menyukai murid-murid yang cantik. Murid yang cantik mudah mendapat nilai bagus dan mendapat perhatian yang lebih bahkan berlebihan dari sang guru. Saya jadi ingat semasa kuliah, salah satu dosen akan memberikan nilai plus pada mahasiswi yang cantik dan bermake-up

Guru wanita juga bisa melakukan diskriminasi dan pilih kasih. Guru wanita yang statusnya perawan tua akan suka murid yang ganteng dan ia biasanya tidak suka pada murid perempuan terutama yang cantik. Namun pada kasus guru wanita yang menjadi perawan tua karena sakit hati pada laki-laki bisa saja menjadikan murid laki-laki itu korban yang harus dibenci! Sepintar apapun si murid bisa jadi nilainya akan dikebiri.

Lalu bagaimana menghadapi oknum guru-guru yang bersikap diskriminatif dan pilih kasih? Melakukan protes saya rasa bukan jalan yang bijaksana karena bisa saja membuat anak semakin dikucilkan. Karena guru kadang memiliki ego yang tinggi, merasa mereka punya kuasa. Jangankan diprotes karena prilaku subyektifnya, dikritik pun mereka enggan.

Berdasarkan pengalaman pribadi, saya menyadari anak saya yang baru kelas 1 SD itu mendapat ‘diskriminasi’ dalam hal-hal tertentu dari gurunya. Terus terang saya tidak bisa membuat aduan kepada kepada kepala sekolah misalnya. Bukti valid saya tidak punya, baru sebatas asumsi yang didasarkan atas pengamatan langsung dan berbagi cerita dengan anak tentang situasi kelasnya.

Saya tentu tidak memberitahukan bahwa ia telah menjadi korban dari sikap pilihkasih gurunya. Saya kawatir jika ia tahu dirinya telah didiskriminasi, itu akan merusak semangat belajarnya. Saya tidak ingin anak akan menghilangkan respek pada sang guru atau malah membencinya. Sejauh ini saya coba untuk terus mendorongnya untuk tetap rajin belajar. Memberi motivasi dan memberi masukan padanya untuk memperbaiki diri karena bisa jadi ‘sesuatu’ yang salah itu berasal dari diri sendiri. Persoalan nilai dan ranking bukan tujuan utama namun lebih mengedepankan pada proses.

Buat mereka yang sudah mengerti bahwa memang terjadi diskriminasi terhadap diri mereka lebih baik memfokuskan untuk belajar semaksimal mungkin. Tidak perlu dibawa sampai ke hati sehingga merusak konsentrasi selama di sekolah. Guru yang bersikap diskriminatif jumlahnya pasti jauh lebih sedikit dari yang tidak. Di banyak sekolah murid dari kelompok minoritas diperlakukan sejajar bahkan bisa jadi juara.

Menerima perlakuan diskriminatif adalah fakta dan kenyataan hidup. Tidak hanya di lingkungan sekolah. Coba tengok bagaimana perlakuan polisi pada si miskin misalnya.Atau bahkan tidak sedikit juga pemuka agama seperti pastor atau pendeta yang pilih kasih terhadap umatnya. Semuanya tentang bagaimana kita menyikapinya walau memang kadang membuat kita sakit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun