Mohon tunggu...
Ajie Marzuki Adnan
Ajie Marzuki Adnan Mohon Tunggu... profesional -

Manusia biasa, suka tidur, suka browsing internet, suka baca komik Doraemon juga. Getting older but still a youth!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenyataan Pahit Dibalik Masalah Keamanan Pangan Global

9 Oktober 2010   13:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:34 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2010 diperkirakan total seluruh jumlah manusia di muka yang mengalami kekurangan pangan dan gizi adalah 925 Juta manusia (Jacques Diouf, Dirjen FAO). Dan kebanyakan dari pada penderita kelaparan dan kekurangan gizi tersebut adalah orang-orang yang tinggal di Negara berkembang seperti Indonesia, Brazil, India dan banyak negara Afrika. Selain itu juga berdasarkan data dari FAO masih ada 22 negara yang mengalami krisis pangan, 17 diantaranya adalah negara Afrika, negara yang sedang dilanda konflik seperti Irak dan Afghanistan, dan negara seperti Haiti, Korut & Tajikistan.

Krisis pangan bukan masalah yang sepele karena itu bisa mempengaruhi kita sesama manusia baik itu secara filosofis ataupun praktis. Secara filosofis, saat anda sedang enak-enak nongkrong di McDonalds, KFC, Starbucks dan tempat-tempat makan trendy lainnya selama berjam-jam hanya membicarakan tentang gebetan baru anda, maka setiap 3 detiknya ada 1 orang yang meninggal karena kelaparan dan kekurangan gizi. Bahkan sekarang saat saya menulis artikel ini, yang mana membutuhkan waktu selama 1 jam, maka sudah ada 1200 orang diseluruh dunia yang meninggal. Apa yang anda rasakan sebagai manusia normal yang mempunyai perasaan?

Sedangkan secara praktis, kelaparan juga sangat merugikan baik itu dalam tingkat domestik ataupun internasional. Pada tingkat domestik kelaparan dapat mengakibatkan pengalokasian keuangan negara yang tidak efektif karena dana yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan negara ternyata digunakan hanya untuk memberi makan orang-orang yang kelaparan. Selain itu juga kelaparan juga merupakan pemicu krusial atas terjadinya konflik sosial, baik itu yang berupa konflik horizontal ataupun vertikal.

Sedangkan pada tingkat internasional terutama dalam konteks hubungan antara negara maju dan negara berkembang, isu mengenai kelaparan dan kekurangan gizi dianggap cukup merugikan karena sangat berpotensi melahirkan konflik dan peperangan antar bangsa. Selain itu juga sama seperti alasan pada tingkat domestik, kelaparan dunia dapat menghabiskan keuangan negara-negara donor yang mungkin dana tersebut sebenarnya bisa digunakan untuk hal-hal lain.

Kedua hal tersebut menunjukkan kepada kita semua bahwa kelaparan dan malnutrisi tidak pernah membawa keuntungan apa-apa bagi umat manusia. Kecuali jika anda percaya sebuah teori konspirasi mengenai pengurangan penduduk dunia hingga 93% dari total populasi penduduk di seluruh dunia (silahkan baca detailnya dan referensinya di http://tikituka.multiply.com/journal/item/241). Tapi tulisan saya disini tidak untuk membahas mengenai teori konspirasi tersebut melainkan berusaha menjelaskan kenapa masalah klasik ini tidak pernah terselesaikan dan bahkan jumlahnya terus meningkat tiap tahunnya dalam konteks global.

Sebelum saya membahas lebih jauh mungkin ada yang mempertanyakan kenapa saya selalu menyebut negara Amerika Serikat sebagai pihak yang memegang peranan esensial mengenai masalah kelaparan ini? Karena bagaimanapun pada abad ke 21 ini kita sangatlah mustahil membicarakan suatu isu internasional tanpa melibatkan Amerika, apalagi isu global seperti kelaparan dan malnutrisi. Hampir segala kebijakan yang dikeluarkan oleh organisasi internasional dalam hal apapun selalu mempertimbangkan posisi politis AS. Tidak heran karena AS mempunyai hagemoni ekonomi dan politik yang sedemikian besar terutama di wilayah Eropa dan Asia. Selain itu AS adalah perwakilan dari gambaran umum negara-negara maju di seluruh dunia. AS adalah kiblat demokrasi negara-negara di dunia, yang mana bentuk demokrasi ini sendiri akan berkontribusi pada segala jenis dan karakteristik kebijakan negara-negara yang bersangkutan. AS juga merupakan kiblat dari gaya hidup dunia, mulai dari hal kecil seperti lifestyle, hingga ke isu yang lebih krusial seperti persamaan gender (feminism) dan hak asasi manusia.

Negara maju yang dikatakan sebagai negara donor utama dalam mengentaskan kemiskinan dunia, bisa dibilang hanya setengah hati dalam usahanya mengentaskan kelaparan dunia. Buktinya sangat mudah: Amerika Serikat dengan mudahnya mampu memproduksi 10 buah pesawat B-2 untuk peperangan seharga 66,3 triyun rupiah, yang dimana dengan jumlah sebesar itu sebenarnya telah mampu mencegah kematian 100 juta anak di seluruh dunia yang disebabkan kelaparan dan penyakit. Atau mungkin jika anda ingin data yang lebih ekstrim adalah kenyataan bahwa dana yang dibutuhkan untuk kebutuhan pangan dan sanitasi global adalah sebesar 117 trilyun rupiah, dimana jumlah sebesar itu ternyata sama dengan jumlah nominal pembelian parfum (minyak wangi) yang dilakukan oleh orang-orang Eropa dan Amerika Utara.

Pada kenyataannya, tingkat konsumsi negara maju seperti Amerika Serikat sangatlah besar tidak sebanding dengan proporsi jumlah penduduk dunia. Pernah disebutkan dalam program televisi Oprah Winfrey bahwa 30-40% kebutuhan pangan dunia di konsumsi oleh Amerika Serikat. Hal ini cukup mengejutkan karena bagaimanapun populasi penduduk AS hanya sekitar 307 juta (juli 2009) dari 6,6 milyar penduduk dunia, atau hanya sekitar 5% penduduk dunia! Angka tersebut sekaligus juga mewakili tingkat konsumsi negara-negara maju lain seperti negara-negara Eropa. Bisa dikatakan bahwa tingkat konsumsi penduduk negara maju tidak begitu berbeda jauh dengan tingkat konsumsi negeri AS. Argumen ini diperkuat dengan data resmi dari FAO pada tahun 1999-2001 mengenai tingkat konsumsi negara-negara di dunia (lihat gambar).

Gambar diatas menunjukkan bahwa tingkat konsumsi tertinggi dipegang oleh AS, Inggris, Prancis, Portugal, Spanyol, Jerman, Austria, negara Benelux, Irlandia dan italia. Bila kita akumulasikan seluruh penduduk negara tersebut maka hanya akan berjumlah 646,8 juta jiwa atau hanya sekitar 10 % dari total penduduk dunia. Itu artinya paling tidak lebih dari dari 50% konsumsi makanan diseluruh dunia di dominasi oleh negara-negara tersebut. Sedangkan sisanya yaitu 90% penduduk dunia atau sekitar 4,3 milyar orang saling berebut mendapatkan 50% sisa pangan di dunia.

Apa yang dapat anda dapatkan dari bukti sederhana di atas? Dan ingat, jangan kira mereka (Amerika utara dan Eropa) tidak tahu mengenai fakta bencana kelaparan tersebut karena merekapun juga adalah anggota PBB sekaligus anggota FAO, namun mengapa mereka berkontribusi “sangat sedikit” dibanding apa yang telah mereka keluarkan untuk keperluan lain? Mengapa seakan mereka melihat isu kelaparan dan kekurangan gizi hanya masalah sepele?

Ada beberapa alasan, diantaranya adalah yang paling mendasar adalah tidak adanya kepentingan, baik itu kepentingan politis atau ekonomi dalam isu kelaparan yang dihadapi negara tertentu. Karena bagaimanapun, hubungan antar bangsa selalu didasarkan pada kepentingan nasional (national interest) negara yang bersangkutan. Selain itu adalah faktor bisnis yang selalu berorientasikan pada pengumpulan kapital alih-alih isu kemanusiaan, yang dikontrol oleh korporasi multinasional. Kedua hal ini merupakan ramuan ampuh untuk dijadikan alasan mengapa kelaparan di negara tertentu dianggap sebagai isu yang kurang “seksi” untuk dijadikan masalah internasional.

Memang sudah ada banyak organisasi/institusi khusus yang menangani masalah kelaparan dunia, namun institusi tersebut tampaknya hanya menjadi penarik perhatian publik yang perhatian terhadap isu keamanan pangan. Hasilnya tentu bisa ditebak: pengeluaran yang dilakukan untuk mengatasi masalah pangan jauh lebih sedikit ketimbang pengeluaran untuk mengurangi populasi bumi (perang) atau pengeluaran untuk mempertinggi tingkat konsumsi negara yang bersangkutan (peningkatan import bahan makanan, rekayasa genetika dll)

Dalam konteks hubungan internasional praktis, perspektif national interest (kepentingan nasional) adalah bersifat mutlak. Artinya dalam melakukan segala kebijakan-kebijakan luar negeri, suatu negara melandaskannya murni pada latar belakang kebutuhan/kepentingan dalam negerinya. Contohnya pada saat pasca Perang Dunia II Amerika Serikat memberikan kredit untuk bangsa Eropa yang bernama Marshall Plant untuk menanggulangi kelaparan dan kemunduran ekonomi Eropa akibat perang. Pemberian kredit ini bukannya tanpa pamrih: AS mendapatkan keuntungan berupa zona kekuatan politiknya di wilayah Eropa dan sama-sama kita bisa lihat sendiri hingga hari ini dan dalam hal ekonomi tentu saja mereka (AS) mendapatkan untung melalui bunga kreditnya.

Perspektif national Interest inilah yang juga melatar belakangi keengganan negara-negara maju untuk sepenuhnya berkontribusi dalam menghapus kelaparan dunia, apalagi di negara-negara yang dianggap kurang menguntungkan dan kurang strategis terhadap kepentingan politik dan ekonominya. Contohnya adalah negara-negara miskin di Afrika tengah yang baik itu SDM ataupun SDA sangat kurang seperti Kongo, Rep. Afrika Tengah, Mozambik, Zimbabwe dan lain sebagainya yang merupakan negara-negara dengan tingkat kelaparan dan malnutrisi terbesar di dunia yang bahkan belum tentu dibahas dalam sidang tahunan PBB sebagai masalah global.

Sedangkan jika dilihat dari persepektif bisnis, sudah sangat jelas bahwa negara atau penduduk yang miskin dan kelaparan tidak membawa keuntungan apapun. Korporasi-korporasi multinasional bonafit cenderung enggan untuk menginvestasikan dananya ke negara-negara tersebut karena memang tidak tidak berpotensi memberikan keuntungan apapun di masa mendatang. Korporasi multinasional lebih suka berinvestasi ke negara-negara maju atau negara-negara berkembang dengan tingkat kesenjangan sosial yang luas seperti Indonesia, India atau China karena memang cukup menguntungkan. Sebagai balas jasanya, korporasi multinasional tersebut menawarkan bantuan dalam bentuk CSR walaupun jumlahnya memang jauh sangat sedikit bila dibandingkan aset perusahaan tersebut. Jadi bisa dibilang tidak ada kebaikan yang diberikan cuma-cuma baik itu oleh negara ataupun korporasi, atau bila saya boleh mengutip ungkapan bangsa barat “Tidak ada makan siang yang diberikan secara gratis”.

Jadi solusi untuk mengatasi masalah keamanan pangan global ini samasekali bukan hal mudah. Bahkan mungkin lebih mudah untuk memikirkan solusi perdamaian Israel-Palestina ketimbang memikirkan masalah kelaparan dan malnutrisi di dunia karena memang masalah food security ini merupakan masalah yang sangat dilematik dan sangat kompleks. Mungkin hal terbaik yang bisa dilakukan (seperti yang telah dilakukan oleh banyak pihak) adalah dengan mendirikan NGO yang khusus menangani masalah kelaparan. Namun inipun masih jauh dari memuaskan karena bagaimanapun NGO hanya mengandalkan dananya dari sumbangan yang jumlahnya tidak seberapa.

Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi fakta-fakta tersebut diatas, apakah dengan berpasrah membiarkan jutaan orang mati tiap tahun karena kelaparan dan malnutrisi? Atau dengan turut meringankan beban mereka sekecil apapun kontribusi itu? Semua itu ada ditangan anda, anda lah yang mampu merubah dunia ini menjadi lebih baik, bukan saya, dia atau mereka :)

Tulisan ini juga bisa anda bisa baca di http://venomaxus.wordpress.com/

Referensi:

1.) http://fao.org/

2.)http://who.int/

3.)http://www.foodsecurity.org/

4.)http://usaid.gov/

5.)http://ers.usda.gov/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun