Memang sudah ada banyak organisasi/institusi khusus yang menangani masalah kelaparan dunia, namun institusi tersebut tampaknya hanya menjadi penarik perhatian publik yang perhatian terhadap isu keamanan pangan. Hasilnya tentu bisa ditebak: pengeluaran yang dilakukan untuk mengatasi masalah pangan jauh lebih sedikit ketimbang pengeluaran untuk mengurangi populasi bumi (perang) atau pengeluaran untuk mempertinggi tingkat konsumsi negara yang bersangkutan (peningkatan import bahan makanan, rekayasa genetika dll)
Dalam konteks hubungan internasional praktis, perspektif national interest (kepentingan nasional) adalah bersifat mutlak. Artinya dalam melakukan segala kebijakan-kebijakan luar negeri, suatu negara melandaskannya murni pada latar belakang kebutuhan/kepentingan dalam negerinya. Contohnya pada saat pasca Perang Dunia II Amerika Serikat memberikan kredit untuk bangsa Eropa yang bernama Marshall Plant untuk menanggulangi kelaparan dan kemunduran ekonomi Eropa akibat perang. Pemberian kredit ini bukannya tanpa pamrih: AS mendapatkan keuntungan berupa zona kekuatan politiknya di wilayah Eropa dan sama-sama kita bisa lihat sendiri hingga hari ini dan dalam hal ekonomi tentu saja mereka (AS) mendapatkan untung melalui bunga kreditnya.
Perspektif national Interest inilah yang juga melatar belakangi keengganan negara-negara maju untuk sepenuhnya berkontribusi dalam menghapus kelaparan dunia, apalagi di negara-negara yang dianggap kurang menguntungkan dan kurang strategis terhadap kepentingan politik dan ekonominya. Contohnya adalah negara-negara miskin di Afrika tengah yang baik itu SDM ataupun SDA sangat kurang seperti Kongo, Rep. Afrika Tengah, Mozambik, Zimbabwe dan lain sebagainya yang merupakan negara-negara dengan tingkat kelaparan dan malnutrisi terbesar di dunia yang bahkan belum tentu dibahas dalam sidang tahunan PBB sebagai masalah global.
Sedangkan jika dilihat dari persepektif bisnis, sudah sangat jelas bahwa negara atau penduduk yang miskin dan kelaparan tidak membawa keuntungan apapun. Korporasi-korporasi multinasional bonafit cenderung enggan untuk menginvestasikan dananya ke negara-negara tersebut karena memang tidak tidak berpotensi memberikan keuntungan apapun di masa mendatang. Korporasi multinasional lebih suka berinvestasi ke negara-negara maju atau negara-negara berkembang dengan tingkat kesenjangan sosial yang luas seperti Indonesia, India atau China karena memang cukup menguntungkan. Sebagai balas jasanya, korporasi multinasional tersebut menawarkan bantuan dalam bentuk CSR walaupun jumlahnya memang jauh sangat sedikit bila dibandingkan aset perusahaan tersebut. Jadi bisa dibilang tidak ada kebaikan yang diberikan cuma-cuma baik itu oleh negara ataupun korporasi, atau bila saya boleh mengutip ungkapan bangsa barat “Tidak ada makan siang yang diberikan secara gratis”.
Jadi solusi untuk mengatasi masalah keamanan pangan global ini samasekali bukan hal mudah. Bahkan mungkin lebih mudah untuk memikirkan solusi perdamaian Israel-Palestina ketimbang memikirkan masalah kelaparan dan malnutrisi di dunia karena memang masalah food security ini merupakan masalah yang sangat dilematik dan sangat kompleks. Mungkin hal terbaik yang bisa dilakukan (seperti yang telah dilakukan oleh banyak pihak) adalah dengan mendirikan NGO yang khusus menangani masalah kelaparan. Namun inipun masih jauh dari memuaskan karena bagaimanapun NGO hanya mengandalkan dananya dari sumbangan yang jumlahnya tidak seberapa.
Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi fakta-fakta tersebut diatas, apakah dengan berpasrah membiarkan jutaan orang mati tiap tahun karena kelaparan dan malnutrisi? Atau dengan turut meringankan beban mereka sekecil apapun kontribusi itu? Semua itu ada ditangan anda, anda lah yang mampu merubah dunia ini menjadi lebih baik, bukan saya, dia atau mereka :)
Tulisan ini juga bisa anda bisa baca di http://venomaxus.wordpress.com/
Referensi:
1.) http://fao.org/
3.)http://www.foodsecurity.org/