Mohon tunggu...
Ajie Marzuki Adnan
Ajie Marzuki Adnan Mohon Tunggu... profesional -

Manusia biasa, suka tidur, suka browsing internet, suka baca komik Doraemon juga. Getting older but still a youth!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Blackberry: Antara Kebutuhan dan Status Sosial

29 September 2010   07:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:52 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Michael Marmot (2004) dalam bukunya The Status Syndrome: How Social Standing Affects Our Health and Longevity disebutkan bahwa sudah menjadi kodrat seseorang (human nature) untuk senantiasa memperoleh status sosial yang lebih tinggi daripada umumnya. Dan seringkali dalam memperoleh status sosial yang lebih baik seseorang rela mengorbankan apapun seperti kesehatan, orang yang dicintai, perasaan, kemampuan ekonomi dan lain sebagainya. Tidak ada yang aneh tentang hal ini, maka dari itulah mengapa meningkatkan status sosial tidak dikategorikan dalam penyimpangan sosial (social distortion).

Begitupun halnya dengan para pengguna BB yang sekedar mengikuti trend atau high life style. Mereka selaku manusia normal yang menginginkan status sosial yang tinggi bisa mencapainya melalui pencapaian atas symbol status. Cherrington, David J. (1994) dalam bukunya Organizational Behavior menjelaskan bahwa kepemilikan barang/akses terhadap sesuatu hal tertentu oleh seseorang dapat menaikkan status sosial orang yang bersangkutan. Biasanya barang-barang yang dianggap sebagai symbol status adalah barang-barang mewah, mencakup seperti kendaraan pribadi, jam tangan, personal gadget (termasuk BB) dan lain sebagainya.

Yang menjadi masalah dan bisa disebut sebagai penyimpangan sosial adalah saat kodrat manusia atas pencapaian status sosial diimplementasikan secara berlebih. Menurut James W. Van Der Zanden perilaku menyimpang yaitu perilaku yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang tercela dan di luar batas toleransi. Dan orang-orang yang melakukan pengejaran atas status sosial secara berlebihan biasa disebut Social Status Climber. Orang-orang ini, seperti yang telah tersebutkan sedikit diatas, adalah orang yang rela menggadaikan atau mengorbankan apapun untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi. Hal ini dapat membawa dampak negatif terhadap dirinya sendiri dan orang lain disekitarnya, bahkan dalam level lebih tinggi bila dilakukan secara kolektif oleh sebagian besar anggota komunitas tertentu (contohnya adalah dalam tingkat Negara) maka hal tersebut akan membawa distorsi struktur pada organisasi/komunitas tersebut.

Contohnya: Ada seorang remaja SMA berusia 17 tahun. Dia tinggal bersama kedua orang tua yang mempunyai kemampuan ekonomi menengah kebawah. Si anak ini melihat di sekolah nya banyak teman-temannya yang sudah menjadi pengguna BB. Si anak ini kemudian iri dan dia juga ingin mempunyai BB seperti milik teman-temannya. Dia tahu bahwa kedua orang tuanya akan sangat merasa kesulitan untuk membelikannya sebuah Blackberry baru, namun ternyata si anak ini tidak mau tahu dan memaksa kedua orang tuanya memberikan sebuah BB. Akhirnya dibelikanlah si anak ini BB baru yang harganya sekitar 4,5 juta rupiah dan bahagialah si anak karena dia bisa ikut menjadi anak “gaul” disekolahnya. Lalu apa fungsi BB bagi si anak ini? Tidak ada sebenarnya karena pemanfaatan BB oleh si anak remaja ini sama saja bila dia menggunakan Nokia 3315 atau mungkin yang lebih canggih sedikit Nokia N70. Nilai yang dia dapatkan hanyalah posisi status sosialnya yang naik secara semu. Saya katakan semu karena dibalik kepemilikannya atas BB, keluarganya kemungkinan mengalami masalah financial untuk makan atau bahkan untuk membayar uang sekolah si anak tersebut yang tingkat urgensitas jauh diatas hak kepemilikan atas BB.

Contoh tersebut diatas juga menunjukkan bahwa social status climber juga turut dipengaruhi lingkungan sosialnya. Dan sering tanpa kita sadari diri kita sendiri bahkan menjadi personal yang terlibat secara langsung atas sikap social status climber seseorang. Bahasa sederhananya, kerapkali kita menjadi pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya penyimpangan sosial dalam komunitas, baik memang kita sengaja ataupun samasekali tidak disengaja. Kasus Blackberry yang saya berikan itu hanyalah satu contoh kecil saja, anda dapat menemukan lusinan contoh-contoh lain yang ada disekitar hidup anda sendiri.

Jadi apa kesimpulan anda? Silahkan anda mengambil nilai yang kira-kira anda bisa tangkap. Oh iya tapi jangan anda berkesimpulan dangkal dengan mengira saya adalah seorang anti-BB karena kalau ada orang yang mau memberi saya sebuah BB onyx atau BB torch tentu saya dengan sangat amat senang hati mau menerimanya dan menggunakannya walaupun mungkin saya tidak terlalu membutuhkannya. Atau mungkin kalau ada yang mau memberi saya iPhone 4G terbaru pasti saya mau menerimanya walaupun saya tidak butuh hal itu samasekali :)

Terserah anda mau mengambil nilai positif dan mengambil kesimpulan jenis apa yang anda dapat dari tulisan sederhana saya ini. Yang pasti jangan samakan tulisan ini dengan skripsi atau thesis karena “penelitian” dan sumber yang saya cantumkan disini sangat lah seadanya dan terselesaikan dalam waktu kurang dari 45 menit. So, maaf-maaf saja kalau ada kesalahan data/argument ya :)

Tulisan ini juga dapat anda baca di http://venomaxus.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun