Pagi hari yang cerah ditemani dengan secangkir teh, ku langkahkan kakiku menuju balkon. Ku pandang ke sekitar dan yang ku lihat hanyalah bangun pencakar langit. Tak ada udara segar yang dapat kuhirup seperti dirumahku di kampung. Saat asik memikirkan kampung halaman ada suara langkah kaki yang mendekat, ku arahkan pandanganku pada suara langkah kaki itu ternyata Devi teman kosanku "Apa yang kau lakukan ?" kata Devi. "Sedang menikmati secangkir teh hangat", meliat penampilan Devi yang rapih kubertanya "Dev, mau pergi kemana ?". Devipun menjawab "Aku ingin pergi membeli sesuatu di mini market, kau mau ikut tidak ? ". "aku ikut, tunggu sebentar". Devi menjawab "cepet dikit ya, sebelum siang hari". Terbayang akan panasnya trik matahari saat berjalan kaki nanti ditrotoar tapi tak mengalahkan niatku untuk pergi bersama Devi.
Setelah berbelanja di mini market, kami segera pergi untuk kembali ke kosan. Di perjalanan pulang, yang ada hanyalah hawa panas dari mesin--mesin kendaraan yang berlalu lalang serta matahari yang trik menyinari jalanan. Jikalau ada angin yang bertip itu hanya menerbangkan debu dan dedaunan kering, ini sangat mengganggu. Devi berkata "banyak debu, sebaiknya kita membeli masker". Akupn hanya mengikuti kemana langkah kaki Devi pergi ketempat penjual masker. Kadangkala awan pekat melintas seolah menghalangi dari terik sinar matahari.Â
Terlihat kening devi yang mulai mengeluarkan keringat akupun mengeluarkan tisyu yang selalu kubawa kemana-mana lalu kuberikan pada Devi, Devipun  menerima uluran tisyu yang kuberikan padanya dan Devi berkata "trimakasih anis" kubalas perkatannya dengan sebuah senyuman. Pepohonan yang seharusnya tumbuh di sepanjang trotoar jalan kini telah mulai berkurang karena pohon tersebut telah tumbang.Â
Terkadang ada beberapa kendaraan bermotor yang menggunakan trotoar hanya untuk memotong jalan atau menghindari kemacetan. Tak habis pikir olehku, trotoar untuk pejalan kaki mereka gunakan untuk motor melintas. Tidaklah mereka lihat bawa kami para pejalan kaki terganggu dengan hal itu.
Udara di luar sana yang panas masih terasa olehku saat tiba di kosan. Kunyalakan kipas angin untuk meredakan panas yang ditimbulkan dari cuaca di luar sana. Teringat akan kampung halaman ku di sana, udara yang sejuk serta pepohonan yang mengelilinginya di sepanjang jalan menuju rumahku. Kelak angina akan bertiup ke satu arah, pohon melayangkan daun-daunya dan angin membawa terbang daun-daun itu. Terbayang akan suasana siang hari saat matahari berada di atas tapi tak dapat mengganggu aktifitas di sana karena seterik apapun sinar mata hari kala itu tetap udara di kamungku sejuk karena ada pepohonan yang menghalangi sinar mata hari itu serta angin yang bertiup di kala waktu.Â
Suasana yang tentram dan damai yang hanya bisa kulihat di kampungku. Tumbuhan hijau yang tumbuh di depan halaman rumah warga menjadikan suasana yang asri, tak jarang teringat betapa hijau dan nyamannya kampungku ini. Tak ada tempat senyaman ini yang aku dapat di kota.
Suasana sepert ini yang akan selalu dirindukan dan akan sulit ditemui ditempatku sekarang. Selalu kurindukan saat-saat di mana akan tibanya waktu liburan itu datang. Senyuman yang di dapat dari tetangga yang menyapa dengan hangat. Menikmati pagi hari dengan cuaca yang sejuk serta embun yang masih bisa dilihat dan dirasakan.Â
Dedaunan yang basah karena diselimuti oleh embun pagi, pepohonan yang yang rindang bergoyang oleh tiupan angina yang dapat menimbulkan suasana menjadi sejuk. Dari beberapa pohon di depan halaman rumahku terdapat beberapa pohon buah. Warna yang di hasilkan dari pohon itu tak lagi hanya warna hijau karena daun tapi ada warna merah dari merahnya buah rambutan atau buah kecapi yang mulai matang.
Matahari yang mulai muncul menembus embun di pagi menandakan kesibukan orang-orang yang berlalu lalang untuk membulai aktifitasnya, tak lebih dengan para petani yang mulai pergi berkebun dan sawah untuk memulai aktifitasnya kembali. Sapaan ramah dari para petani yang berlalu lalang memabah kehangatan dan keramah tamahan. Â
Di teras depan rumahku di kampung, terdapat kursi untuk bersantai atau sekedar bercengkrama. Disanalah tempat biasa kuhabiskan waktu hanya untuk sekedar membaca novel atau hanya sekedar mengobrol dengan keluarga. Hari kian siang banyak anak-anak berlarian ke sana ke mari dengan canda tawanya, bermain dengan teman sebayanya. Melihat anak-anak yang tersenyum dengan lepas, menandakan bahwa begitu asiknya merea bermain tak kutemukan di pekotaan sana.Â
Pemukiman yang sempit sulit untuk mereka berlarian dengan bebas, anak-anak kota banyak bermain di jalanan depan rumah mereka yang seringkali di lewati oleh kendaraan. Berbeda dengan anak-anak yang tinggal di kampung dapat bermain dengan nyaman tanpa ada gangguan oleh kendaraan. Baru beberapa bulan yang lalu kutinggalkan kembali kampung halaman ku untuk pergi ke kota. Kampung halaman yang selalu ku rindukan ke asriannya yang tidak dapat ku peroleh di tempat tinggalku saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H