"Aku ingin menikahi kamu, Nin." Anin tersenyum dengan tulus. Tubuh polosnya yang terbalut selimut berjalan menuju cermin. "Kamu kenapa? Kita sudah sering melakukan ini dan tidak pernah ada pembicaraan seperti ini."
"Bukan saatnya main-main lagi Anin. Aku tidak mau semua telat, gimana? Kamu ga mau ya?" dia berjalan menghampiri aku yang masih duduk di tepi kasur. Berdiri dan menatap dalam mataku. Tangannya dengan lembut menyentuh pipiku. "Tidak, aku bukannya tidak mau, tapi kalau kamu belum yakin jangan dulu."
Aku menggelengkan kepala. Hubungan bukan hanya untuk senang-senang saja. "Aku telah berani melakukannya dan aku ingin bertanggung jawab sayangku." mata kami masih saling memandang. Anin menyatukan keningnya denganku. Aku memejamkan mata menikmati lembutnya bibir itu. Bibir yang membuat aku candu. Tidak ada nafsu di ciuman kami. Hanya menyalurkan perasaan tulus.
"Aku akan tunggu kamu di rumah dan ketemu mama papa." aku memeluk tubuhnya erat. Tidak ada lagi hal yang perlu aku takutkan. Semuanya sebelum terjadi aku telah melewatinya. Keluar dari zona nyaman dan memulai hal baru.Â
Masalah itu memang tidak pernah lepas dari kehidupan kita. Namun, semuanya akan terlewatkan jika kita bisa mengendalikannya. Keinginan, emosi, dan pengetahuan menjadi hal yang utama dalam hidup. Ketiganya harus kita kendalikan.
"Terima kasih Anin, terima kasih atas segalanya." dan terima kasih juga untuk kamu Shani. Sosok yang bahkan tidak aku kenal sama sekali. Perempuan di dunia yang berbeda terlihat nyata di depan mata. Pantai yang bahkan tidak pernah aku datangi mampu memberikan ketenangan dengan warna birunya.
Â
01/-7/2019
-VEDA-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H