Umat Buddha pasti sudah sangat mengenal hukum ketidakkekalan ini. Buddha mengatakan bahwa segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal. Jadi termasuk sebuah pernikahan juga karena pernikahan itu sendiri adalah suatu hal yang berkondisi. Pernikahan dapat berakhir karena suatu sebab. Sebab itu dapat karena kedua pihak memutuskan untuk tidak meneruskan lagi hubungan ataupun karena kematian. Jadi putusnya suatu pernikahan bukan dikarenakan salah satu pihak tidak setia..Dan bertahannya pernikahan bukan pula berarti bahwa pasangan tersebut keduanya setia. Memaksakan tetap bertahannya pernikahan dengan anggapan wanita harus nrimo keadaan supaya bisa dianggap sebagai istri baik dan setia adalah pandangan keliru. Karena kesetiaan istri jelas jelas tidak ada sangkut paut dengan bertahan dalam hubungan yang toksik dan merusak.
Memang kita sebaiknya menghindari menyarankan perceraian. Namun kita tidak seharusnya pula membiarkan satu pihak menderita terus menerus sementara ada jalan keluar yang bisa ditempuh . Bertahan dalam penderitaan bukanlah bentuk kesetiaan, seperti juga keluar dari neraka pernikahan bukanlah merupakan pelanggaran sila ketiga dalam Pancasila Buddhis.
Kekerasan bagaimanapun bukan cuma mempengaruhi dari segi fisik saja namun juga dari segi mental. Belum lagi anak anak akan tumbuh dalam lingkungan yang tak sehat untuk pertumbuhan jiwa mereka. Betapa banyak anak lelaki yang saat dewasanya tumbuh menjadi pemberang dan pelaku kekerasan terhadap istri ataupun anak mereka dikarenakan saat kecil mereka menyaksikan ayah mereka ' memberi contoh ' memukuli ibu mereka.
Terakhir saya ingin memberi contoh tentang kasus yang terjadi di Makassar dimana seorang suami membunuh istrinya dan lalu mayatnya di cor dengan semen. Kekejian ini akhirnya terbongkar karena pengakuan sang anak yang semula bertahan karena diancam sang ayah. Cerita pembunuhan ini tadinya diawali dengan cekcok rumah tangga terus menerus sehingga akhirnya terjadilah hal yang sadis tersebut. Bayangkan betapa hancurnya hati seorang anak. Kematian seorang ibu saja sudah memberikan duka yang mendalam apalagi jika kematian tersebut dengan cara yang sadis seperti ini. Trauma yang mendalam sudah pasti akan menghantui seumur hidup anak tersebut.
Teringat kata-kata seorang bhikkhuni dalam suatu webinar, "jangan sampai pisau sudah ditempel ke leher tapi terus diam saja, pasrah saja, ini tidak bijaksana juga", demikian ujar bhikkhuni tersebut. Saya meyakini bahwa para rohaniwan seperti anggota Sangha ataupun pandita dapat berperan membantu dalam kasus kekerasan dalam rumah  tangga karena mereka- mereka ini banyak dijadikan tempat curhat dan berkeluh kesah oleh umat. Namun patut diingat bila situasi pernikahan sudah di ujung tanduk akibat KDRT, tidak sepatutnya kita menyuruh pihak yang menderita untuk terus bertahan dalam.pernikahan tersebut karena hal tersebut tidak ada hubungan dengan kesetiaan seorang istri. Jika kita tidak bijak maka tidak tertutup kemungkinan kita akan menyaksikan terulangnya kasus di Makassar tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H