Mohon tunggu...
Venella Yayank Hera Anggia
Venella Yayank Hera Anggia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Magister Aqidah dan Filsafat Islam di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Memiliki minat pada studi gender dan feminisme

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengenal Ekofeminisme: Apa dan Mengapa ini Penting?

22 Mei 2024   14:00 Diperbarui: 22 Mei 2024   16:09 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bentley University 

Selama ini, telah banyak tulisan yang menjelaskan perihal teori dan analisis terkait dengan ekofeminisme. Namun, masih sedikit sekali yang memaparkan dasar dari pertanyaan "apa itu ekofeminisme?" dan mengapa ekofeminisme sangat getol dikampanyekan. Sebagian khalayak umum, khususnya yang tidak berangkat dari dunia akademik dan aktivisme, pasti masih bertanya-tanya tentang konsep dasar ekofeminisme ini. Dari keresahan tersebut, dalam artikel yang sederhana ini akan dijelaskan pengenalan, seluk beluk tentang ekofeminisme dan mengapa ini penting untuk dibicarakan.


Ekofeminisme lebih dikenal sebagai salah satu ragam dari aliran dan gerakan feminisme, tepatnya masuk dalam feminisme gelombang ketiga. Istilah ekofeminisme pertama kali diperkenalkan oleh seorang sastrawan dan aktivis dari Perancis bernama Francoise d'Eaubonne pada tahun 1974 dalam karyanya yang berjudul Le Feminisme ou la Mort (Feminisme atau Kematian) (Tong, 2007, p. 366). Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh Karen J. Warren, seorang pelopor dalam bidang Filsafat Ekofeminis, lewat artikel jurnalnya yang dipublikasi di Enviromental Review pada 1987 dengan judul Feminism and Ecology. Kedua karya tersebut sama-sama mempersoalkan relasi antara krisis ekologi di ruang sosial yang disebabkan oleh adanya suatu bentuk dominasi, sehingga mempengaruhi kehidupan sosio-ekonomi perempuan. Dapat dipahami bahwa secara pasti, ekofeminisme pada mulanya terlahir dari gerakan akademis dan aktivis yang melihat hubungan kritis antara dominasi alam dan eksploitasi terhadap perempuan.


Namun, ekofeminisme kemudian menjadi sebuah kesadaran bersama tentang hubungan manusia dengan makhluk lain di alam semesta. Jadi, tidak hanya sekedar memikirkan bagaimana manusia saling berhubungan dengan manusia lainnya, namun telah sampai pada relasi antara manusia-binatang-tumbuhan. Seperti yang dijelaskan oleh Rocky Gerung dalam kuliah KAFFE (Kajian Filsafat dan Feminisme) Etika Lingkungan diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan, bahwa ekofeminisme tumbuh dari kekuatan argumen yang berbasis pada pengalaman sesungguhnya, sesuai dengan realitas (Gerung, 2017). Sederhananya, ekofeminisme tidak lagi hanya berangkat dari pemahaman akademis-literasi, tapi dapat lahir dari pengalaman atas kehidupan alam yang langsung dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya seperti perempuan dalam masyarakat adat, perempuan di Kendeng, perempuan di Wadas, perempuan di pengungsian dan perempuan-perempuan lain yang mengalami dampak krisis iklim.

Mengapa Alam Dihubungkan dengan Perempuan?
Sebenarnya, hubungan perempuan-alam terkait erat dengan pandangan masyarakat tradisional yang mengidentifikasikan perempuan dan alam sama-sama memiliki karakter reproduksi, yakni kesuburan, kelahiran, dan pemeliharaan, seperti yang terlihat dalam metafora ibu bumi atau dewi kesuburan dalam banyak kebudayaan. Metafora "Ibu Bumi" menggambarkan bumi sebagai figur feminin yang melahirkan dan memberi kehidupan kepada semua makhluk di atasnya, serupa dengan peran seorang ibu untuk anak-anaknya. Bumi telah memberikan kehidupan kepada semua makhluk yang ada di atasnya, termasuk menyediakan makanan, minuman hingga tempat tinggal bagi setiap entitas (Zury Muliandari, 2020). Ini menciptakan asosiasi simbolis antara perempuan dan alam dalam kesadaran budaya. Metafora ini juga menggambarkan bumi sebagai entitas yang penuh kasih, sayang, dan pemelihara.


Di sisi lain, perempuan dan alam memiliki akar penindasan yang sama. Dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh cara pandang patriarki, alam dan perempuan sering dianggap sebagai objek dan kepemilikan yang bisa dieksploitasi (Candraningrum, 2013, p. 4). Eksploitasi bersama antara perempuan dan alam merujuk pada pengalaman di mana keduanya sering kali menjadi korban dari praktik eksploitasi yang sama dalam konteks sosial dan ekonomi. Dalam banyak kasus, perempuan dan alam diperlakukan sebagai objek yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dan politik oleh pihak yang berkuasa.

Kenapa Harus Perempuan?
Ekofeminisme yang memfokuskan keterlibatan perempuan terhadap kehidupan alam dalam menanggulangi krisis iklim sebenarnya bukanlah tanpa sebab. Ini didasarkan pada banyaknya kasus perempuan yang mengalami dampak langsung dari adanya krisis iklim. Perempuan lebih rentan terhadap dampak kerusakan alam dibandingkan dengan laki-laki karena ketergantungan mereka pada sumber daya alam.


Kebanyakan perempuan, sebagai ibu rumah tangga misalnya, harus menjadi pemegang kendali atas pengolahan pangan dan pengaturan ekonomi keluarga. Kerusakan alam akan menyebabkan berkurangnya pasokan air tanah akan membuat para perempuan
mengeluarkan uang lebih untuk membeli air, untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Ini akan memperburuk situasi ekonomi karena kebutuhan harian menjadi meningkat dan harga barang-barang semakin mahal. Penghasilan keluarga yang tidak mencukupi akan memenuhi kebutuhan hidup mengarah pada konflik keluarga yang memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (Suliantoro & Murdiati, 2019).


Perempuan di pedesaan yang menggantungkan hidupnya pada ranah pertanian juga sering kali langsung merasakan konsekuensi dari perubahan lingkungan dan kerusakan alam. Misalnya, perubahan iklim menghasilkan pola hujan yang tidak stabil, memicu kekeringan, hingga berdampak negatif pada hasil pertanian. Karena perubahan iklim ini mempengaruhi produktivitas pertanian, membuat perempuan berubah haluan dalam menggantungkan hidupnya. Mereka akan berganti pekerjaan menjadi buruh pabrik hingga asisten rumah tangga, pekerjaan yang rawan terhadap kekerasan serta belum memiliki payung hukum secara memadai.


Pun, krisis iklim dapat memicu banjir yang akan semakin menyulitkan hidup perempuan karena mereka harus mengungsi. Di wilayah pengungsian pun mereka seringnya menghadapi kesulitan dalam mendapatkan akses terhadap air bersih, makanan, pakaian dan pembalut, hingga rentan mengalami kekerasan seksual.

Pentingnya Ekofeminisme
Dengan melihat bagaimana dampak krisis iklim dan kerusakan alam secara langsung berpengaruh dalam kehidupan perempuan, maka kesadaran ekofeminisme sangat diperlukan. Ekofeminisme dapat menjadi pemantik untuk merefleksikan ulang dan lebih melek terhadap permasalah lingkungan saat ini. Menjadikan kita lebih memprioritaskan gaya hidup berkelanjutan dan praktik yang menghargai lingkungan. Ini termasuk pertanian berkelanjutan, penghematan penggunaan energi, pengurangan limbah, dan kebiasaan konsumsi yang ramah lingkungan, yakni mengurangi penggunaan plastik, menggunakan botol minum yang dapat diisi ulang serta membawa tas belanja sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun