Mohon tunggu...
Syailendra Persada
Syailendra Persada Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya adalah mahasiswa fakultas ilmu budaya 2007 dan tertarik dengan kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Materiealisme, Dialektika, dan Logika (Madilog)

8 Februari 2011   09:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:47 4860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Madilog adalah sebuah karya besar dari salah satu bapak bangsa yaitu Tan Malaka.  Di luar silang pendapat terkait keterlibatannya dengan PKI masyarakat Indonesia perlu mengapresiasi namanya karena Tan Malaka lah yang pertama kali merumuskan konsep NKRI dalam bukunya Naar de Republiek dan karyanya yang paling fenomenal yaitu madilog.

Madilog adalah buku yang ditulis dalam persembunyiannya dari kejaran tentara Jepang di Cililitan.  Buku ini ditulis selama kurang lebih 3 jam per hari dan memakan waktu 8 bulan.  Inti dari buku ini adalah menguraikan masalah Materalisme, dialektika, dan logika.

Pada dasarnya madilog bukanlah pandangan hidup tetapi lebih kepada cara berpikir yang menurut Tan Malaka harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia.  Pertama adalah materealisme, ketika berbicara mengenai materealisme maka tokoh yang terkenal adalah Karl Heinrich Marx dan sahabatnya Friedrich Engels.  Filsafat materealisme sendiri berangkat dari keyakinan bahwa materi adalah sesuatu yang mutlak sebagai dasar terakhir alam semesta.  Dalam hal ini Marx dan Engels menempatkan alam semseta sebagai sebuah meteri.

Yang berikutnya adalah Dialektika, pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dan kemudian dikembangkan oleh Hegel dengan tesisnya, bahwa segala sesuatu pasti terus berubah dan Hegel menempatkan perubahan alam semesta sebagai penagruh dari alam ide.  Inilah yang membedakan filsafat dialektika Hegel dengan Marx.

Marx dengan tesis dialektika yang sama menempatkan bahwa perubahan di alam semestalah yang menyebabkan perubahan apda alam ide karena alam semesta adalah materi dan alam pikiran atau semua hal harus "tunduk" dibawah matereaisme.

Sedangkan Tan Malak sendiri mengambil filsafat dialektika yang dikembangkan oleh Karl marx dan Engels.  sehingga dia berpendapat bahwa dirinya menjadi seorang Marxis bukan karena dia mempelajari Marxisme tetapi karena kondisi masyarakat saat itu yang menghendaki dia menjadi seorang Marxis.

Prinsip dari Dialektika adalah perubahan, air adalah air dan bukan uap tetapi dengan kondisi tertentu maka air dapat menjadi uap.

Jika pada tesis marx dan Engels yang terakhir adalah historis (Materealisme, Dialektika, Historis) maka Tan Malaka mengambil Logika sebagai jembatan terakhirnya, bukan Historis.  Hal ini disebabkan tesis historis sendiri menurut banyak pihak termasuk Tan Malaka menyalahi aturan dialektika.

Dalam tesis Historis Marx fase pada masyarakat adalah seperti ini komunis primitif, masyarakat hamba sahaya, masyarakat feodal, masyarakat kapitalis, dan masyarakat sosialis.  Dan menurut Marx masyarakat sosialis pasti akan menuju masyarakat komunis seiring dengan hilangnya perbedaan dan kelas-kelas di dalam masyarakat.

Dan kritik dari tesis ini adalah berhentinya masyarakat pada fase komunis.  Sehingga ini lah yang menyalahi tesis dialektika di mana materi harus berkembang.  Oleh karena itu Tan Malaka menempatkan logika di jembatan terakhir.

Yang artinya adalah dia mengajak masyarakat Indonesia untuk berfikir logis yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya atau menempatkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas benda tersebut bukan pada prinsip kontradiksi.  Bahwa benda A tidak mungkin sama dengan benda yang bukan A.  artinya ketika kita berbicara mengenai benda A maka harus berpegang pada benda A tersebut.

Inti dari madilog sendiri adalah mengeluarkan manusia pada penghambaan dan hal-hal yang berbau dogmatis mutlak.  sehingga ia menulis di pengantarnya "Kepada mereka yang sudi menerimanya.  Mereka yang minimum sudah mendapatkan latihan otak, berhati lapang, dan seksama serta akhirnya berkemauan keras untuk memahaminya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun