Perempuan masa kini tidak perlu khawatir lagi untuk mengenyam pendidikan dan bekerja. Berbeda ceritanya jika mereka harus hidup di tahun 1890-1960an. Pada masa itu, perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan dan hanya bisa berdiam diri, memasak dan mengurus rumah tangga saja.Â
Hal ini digambarkan jelas dalam film Habibie Ainun 3 (2019) dan Enola Holmes (2020). Ainun (Maudy Ayunda) dan Enola (Millie Bobby Brown) sama-sama harus berjuang menghadapi diskriminasi terhadap wanita dengan memperjuangkan hak-hak mereka pada masanya.
Isu Komunikasi Massa dalam Film
Dalam suatu film, terdapat isu komunikasi dalam penayangannya. Sang sutradara berusaha mengemas flm mereka dengan tendensi masing-masing, entah itu fungsi hiburan, fungsi edukasi, fungsi informatif maupun fungsi persuasif terhadap penontonnya.
Seperti film Habibie Ainun 3 (2019) dan Enola Holmes (2020) yang sama-sama membahas tentang perjuangan kesetaraan wanita pada jaman dahulu. Mengambil latar belakang tahun 1960an di Indonesia dan 1880an di Inggris, hal ini mengingatkan bahwa pada kala itu  Ainun dan Enola belum bisa sebebas sekarang untuk mengenyam pendidikan dan mendapatkan haknya sebagai seorang wanita. Hal ini dikarenakan, pada masa itu patriarki masih sangat mendominasi dan wanita dipandang rendah oleh laki-laki.
Baksin (2003) mengatakan bahwa film adalah bentuk komunikasi massa yang dikelola menjadi suatu komoditi. Terdapat produser, pemain, seni rupa, seni music, teater dan lainnya yang turut mendukung film tersebut. Seluruh unsur ini tergabung menjadi komunikator dan bertindak menjadi agen transformasi budaya.
Kali ini, kita akan membandingkan dua film berbeda dengan satu teori feminisme menggunakan metodologi analisis teks. Analisis teks yaitu mengamati sebuah pesan teks berdasarkan apa yang dapat didengar, dirasakan, dan dibaca. Komunikasi dapat dilihat sebagai bentuk pengiriman pesan statis. (Hendriyani, 2017).
Mengingat film Habibie Ainun 3 dan Enola Holmes sama-sama mengangkat bagaimana perjuangan wanita untuk mendapatkan kesetaraan di jamannya, maka kita akan melihat bagaimana pesan feminisme yang ingin disampaikan oleh masing-masing sutradara dari kedua film ini.
Feminisme
Feminisme berasal dari bahasa latin, yakni Femina yang artinya perempuan. Secara harfiah, femina memiliki makna having the qualities of woman, yakni bagaimana kualitas seorang wanita.Â
Menurut Weedon (Suwastini, 2013) feminisme merupakan gerakan sosial yang ingin mengubah status perempuan dalam mayarakat patriarkis. Feminism ingin menuntut keadilan antara kaum perempuan dan kaum pria.
Isu Feminisme dalam film Habibie Ainun 3
Habibie Ainun 3 (2019) mengambil sudut pandang masa muda Ainun (Maudy Ayunda). Mengambil latar tahun 1950-an, diceritakan bahwa pada kala itu belum ada kesetaraan antara pria dan wanita.Â
Para perempuan hanya diperbolehkan memasak dan mengurus rumah tangga saja. Tidak lazim bagi mereka untuk mengemban pendidikan tinggi dan bekerja.
Ainun berusaha menentang hal tersebut. Ia digambarkan sebagai wanita yang cerdas, dan ingin mengenyam pendidikan tinggi. Ainun sedari kecil bercita-cita menjadi dokter.Â
Beruntungnya ia memiliki kedua orang tua yang mendukung. Hanya saja, mereka mengkhawatirkan Ainun karena pada kala itu perempuan tidak mudah untuk menggapai cita-citanya dalam pendidikan.
"Memangnya kenapa Yah? Kan kita sudah merdeka?"tanya Ainun kecil.
"Betul. Kita sudah merdeka. Tapi, masih banyak di luar sana yang pikirannya belum merdeka."jawab Ayah Ainun (Lukman Sardi).
Namun akhirnya Ainun berhasil mendapatkan undangan dari Universitas Indonesia untuk bersekolah di Fakultas Kedokteran. Disinilah, perjuangan Ainun mendapatkan kesetaraan hak perempuan dimulai.
Suatu pagi di kelas, Ainun dan temannya Arlis (Aghniny Haque) beradu mulut dengan sang kakak tingkat (Arya Saloka) hanya karena masalah tempat duduk. Pertengkaran pun berlangsung panjang, hingga akhirnya sang kakak tingkat mengeluarkan kata-kata yang cukup menohok.
"Hei perempuan! Jangan sok hebat kamu ya. Kalau pun kamu jadi dokter juga, tidak akan sehebat kami para pria!"
Singkat cerita, Ainun berhasil mengalahkan kakak tingkat tersebut, hingga akhirnya mereka pun pergi. Ainun menjadi terkenal di seluruh penjuru Universitas Indonesia sejak hari itu.Â
Terdapat sisi feminisme liberal yang ingin diangkat dalam film ini. Feminisme liberal yakni sebuah teori dimana perempuan dan laki-laki memiliki hak serta kesempatan yang setara.Â
Dari kedua scene ini, kita dapat melihat bagaimana perjuangan Ainun melawan patriarki mendominasi pada saat itu ketika mengenyam pendidikan sekolah dokter.
Sisi feminisme lainnya yang terlihat, yaitu sisi feminisme radikal. Feminisme radikal menitikberatkan pandangan mengenai penindasan wanita sebagai objek sensualitas oleh laki-laki. (Utaminingsih, 2017).Â
Hal ini dapat kita lihat dari adegan Ainun yang hampir diperkosa oleh dua lelaki tak dikenal di perkampungan, ketika sedang membantu mengobati anak kecil yang demam tinggi.
Beruntungnya Ainun ketika Ahmad (Jefri Nichol) datang menolongnya, sehingga ia pun terselamatkan dari dua laki-laki tersebut. Dari sini, kita bisa melihat bahwa tak peduli bagaimana intelektual seorang wanita, sesopan apa pakaian yang dikenakan, laki-laki hanya melihatnya sebagai objek sensualitas saja.
Isu Feminisme dalam film Enola Holmes
Enola Holmes (2019) mengkisahkan tentang Enola (Millie Bobby Brown) sang anak bungsu dari keluarga ternama Holmes yang tinggal berdua dengan ibunya.
Kedua kakaknya, Mycroft (Sam Claflin) dan Sherlock (Henry Cavill) pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikan dan bekerja, sedangkan sang ayah sudah meninggal.
Sang ibu, Eudoria Holmes (Helena Bonham Carter) merupakan wanita yang berbeda dari wanita umumnya pada masa itu. Eudoria adalah seorang aktivis wanita yang berjuang untuk mendapatkan kesetaraan politik bersama dengan teman-teman dari komunitas wanitanya.Â
Beberapa kali bahkan terlihat bahwa Eudoria kerap membaca buku-buku feminisme. Ia juga mengajari Enola hal-hal yang tidak biasanya dipelajari perempuan pada masa itu, yakni membaca buku pengetahuan, jujitsu dan  tenis.
Feminisme liberal juga terlihat dalam film ini, yakni adanya perjuangan kesetaraan hak pilih wanita dalam politik.Â
"Because you have no interest in changing a world that suits you so well."
Dalam scene tersebut, terlihat percakapan antara Sherlock dan Edith (sahabat Eudora) yang cukup menohok.Â
Pada masa itu di Inggris, memang hanya orang-orang terdidik saja yang memiliki kesempatan menggunakan hak pilihnya. Bahkan wanita sama sekali tidak memiliki hak pilih.Â
Eudoria bersama sejumlah aktivis wanita lainnya lantas berjuang untuk mendapatkan kesetaraan hak pilih tersebut.
Selain itu, terdapat juga teori feminisme eksistensial dalam film ini. Feminisme eksistensial dicetuskan oleh Simone de Beauvoir, yaitu seorang tokoh terkenal dari Prancis.
Beauvoir mengatakan bahwa aliran feminisme eksistensial mengambil sudut pandang mengenai penindasan perempuan akibat beban reproduksi yang dimiliki oleh mereka dan memiliki ketergantungan dengan kaum pria.
Contoh feminisme eksistensial ini dapat dilihat dalam hampir setiap scene di Enola Holmes. Salah satunya adalah alasan Eudoria mendidik keras Enola.Â
Berkat didikan sang Ibu, Enola tumbuh menjadi gadis yang intelek dan mandiri karena mendapat bekal pengetahuan dari sang ibu.Â
Salah satunya seperti ketika Enola hampir terbunuh oleh Linthorn. Jika saja Enola tidak mempelajari ilmu bela diri jujitsu, mungkin ia sudah tiada karena gagal melawan Linthorn.
Belajar Feminisme dari Ainun dan Enola
Begitulah kisah perjuangan Ainun dan Enola pada jamannya. Bayangkan jika kita hidup di jaman mereka, mungkin saat ini tidak akan ada wanita yang mengenyam pendidikan hingga ke luar negeri, atau menjadi atlet untuk mewakili Indonesia di kancah dunia.Â
Tidak akan ada istilah wanita karir dan semacamnya, karena perempuan hanya boleh berdiam diri di rumah saja. Dari sini, kita sepatutnya bersyukur karena sudah memiliki kesetaraan yang sama dengan para pria di luar sana.Â
Maju terus wanita-wanita di seluruh dunia! We run the world, girls. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk kita semua :)Â
Daftar Pustaka
Baksin, Askurifai, and Edi Warsidi. (2003). Membuat Film Indie Itu Gampang.
Hendriyani, H. (2017). Analisis Isi: Sebuah Pengantar Metodologi yang Mendalam dan Kaya dengan Contoh. Jurnal Komunikasi Indonesia, 63-65.
Suwastini, N. K. (2013). Perkembangan Feminisme Barat dari Abad Kedelapan Belas Hingga Postfeminisme: Sebuah Tinjauan Teoretis. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 2 No. 1, 199.
Utaminingsih, A. (2017). Gender dan Wanita Karir. Malang: Universitas Brawijaya Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H