Disini, Minke ingin memperlihatkan bahwa ia dengan para kaum Eropa seharusnya mendapatkan kesetaraan. Terlebih, ia bersekolah di HBS (Hoogere Burgerschool) dan sama-sama mengenyam pendidikan dengan para kaum Eropa.
Sikap nasionalisme Minke dapat terlihat bahwa ia ingin memperjuangkan kesetaraan akan bangsanya. Rasanya, ia tak rela jika kaumnya diinjak-injak oleh penjajah di negerinya sendiri.
2."Kita akan jadi pribumi pertama yang melawan pengadilan putih, Nyo. Bukankah itu suatu kehormatan juga?"
Adegan ini mungkin masih terkenang di ingatan para penonton. Ketika Tuan Mellema meninggal dunia, harta warisan dan kekayaan keluarga Mellema pun mulai diributkan.Â
Seharusnya, kekayaan yang sudah diperjuangkan oleh Nyai Ontosoroh dapat turun terhadapnya.Â
Namun, tidak semudah itu bagi Nyai Ontosoroh yang kala itu hanya sebagai gundik dari Mellema, yang derajatnya dianggap setara dengan binatang.
Mereka pun harus melalui proses pengadilan yang pada masa itu hanya berpihak terhadap kaum Eropa dan penuh dengan diskriminasi.Â
Hak Minke sebagai suami sah Annelies di mata agama direnggut, hak Nyai Ontosoroh sebagai Ibu kandung Annelies juga direnggut.Â
Nyai Ontosoroh kala itu sudah tidak peduli lagi jika harta kekayaannya harus diambil oleh anak sah Mellema dari Belanda, asal Annelies masih bersamanya.Â
Namun, pengadilan tetap mengesahkan Annelies untuk dirawat oleh wali Annelies di Belanda, tidak peduli Nyai adalah Ibu kandungnya.
3."Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi Pribumi pun sudah salah."
Dialog ini dicetuskan oleh Nyai Ontosoroh ketika Nyai dan Minke harus menghadapi pengadilan Eropa. Hal ini terlihat bahwa di era kolonialisme dulu, pribumi masih terinjak-injak harga dirinya dan selalu salah di mata Eropa.Â
Apapun kejadiannya, siapapun yang salah dan benar, tetap bangsa Eropa pemenangnya.Â