Dalam Yudaisme, anak sulung ditugaskan untuk menggantikan peran seorang ayah dan berhak mendapatkan warisan dua kali lipat dari adik-adiknya (Bdk. Ulangan 21:15-17). Selain itu, Â secara kultural, sebelum sang ayah meninggal dunia, anak sulunglah yang berhak mendapatkan berkat khusus dari sang ayah (Bdk. Kejadian 28:4).
Konflik Yakub Vs Esau
Yakub dan Esau adalah anak kembar dari pasangan Ishak dan Ribka. Jauh sebelum Yakub dan Esau memperebutkan berkat kesulungan dari ayah mereka, Ishak, sebetulnya, keduanya sudah menunjukkan tanda-tanda konflik sejak berada dalam rahim Ribka, ibu mereka (Bdk. Kejadian 25:22).
Rupanya, status sebagai anak sulung tidak menjamin Esau mendapatkan berkat dari ayahnya. Buktinya, berkat itu malah diterima oleh adiknya, Yakub. Esau ternyata tidak cukup cerdik berhadapan dengan tipu muslihat adiknya, Yakub. Demi menikmati sepotong roti dan kacang merah, Esau dengan mudah meremehkan kesempatan emasnya mendapatkan berkat dari sang ayah (Bdk. Kejadian 25:33-34). Sementara itu, Yakub menjadi sosok yang mampu membongkar keyakinan buta tradisi melalui keberhasilannya merebut berkat dari kakaknya.
Belajar dari Yakub Yang Cerdik
Penulis Kitab Kejadian memberikan informasi yang menarik terkait karakter Yakub dan Esau. Penulis Kitab Kejadian menggambarkan bahwa Esau adalah seorang yang pandai berburu dan senang tinggal di padang (Bdk. Kejadian 25:27). Sementara Yakub adalah seorang yang tenang dan suka tinggal di rumah (Bdk. Kejadian 25:27).
Di samping itu, Esau adalah sosok yang cenderung tidak berpikir panjang. Ia mau menukar hak kesulungannya hanya dengan sepotong roti dan kacang merah (Bdk. Kejadian 25:30-34). Sementara Yakub adalah sosok yang mampu membaca peluang masa depan. Ia sangat cerdas membaca kelemahan Esau. Ia tahu bahwa berkat istimewa dari ayahnya tersebut bermanfaat untuk masa depannya. Atas dasar itu, ia berusaha menguasai kelemahan kakaknya. (Bdk. Kejadian 25:33-34).
Saya kira, kita perlu belajar dari sosok Yakub. Di tengah dunia yang semakin kompetitif ini, kita perlu cerdik memanfaatkan kesempatan serta mampu membaca peluang di masa yang akan datang. Kita tidak boleh seperti Esau yang tidak berpikir panjang. Berpikir panjang berarti, kita perlu memikirkan konsekuensi setiap pilihan dan keputusan kita. Sebaliknya, tidak berpikir panjang berarti, kita tak mampu menunda keputusan demi kesenangan sesaat.
Untuk bisa survive, kita harus pandai menjaga kepercayaan. Oleh karena itu, kita juga perlu memiliki cara yang cerdik agar tetap dipercaya. Kalau kita pandai menjaga kepercayaan, kita pun bisa menerima kepercayaan yang lebih dari pihak yang secara otoritatif berada di atas kita. Tidak ada pilihan lain! Niccolo Machiavelli pernah bilang; "Kita harus menjadi seperti rubah untuk mengenali jerat dan menjadi seperti singa untuk menakut-nakuti srigala".
Oleh: Venan Jalang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H