Keistimewaan Israel sebagai bangsa terpilih tentu saja memiliki dimensi misiologis yang tidak terbatas pada bangsa Israel sendiri. Keistimewaan relasi antara Allah dan bangsa Israel menjadi sakramen bagi bangsa-bangsa lain akan Allah yang mengasihi secara universal. Bangsa Israel mengemban tugas misioner baik untuk secara aktif "menceritakan" pengalaman (penyelamatannya) kepada keturunannya (missio interna) dan kepada bangsa-bangsa di sekitarnya (missio externa, bdk. Yes 49,8 dst). Pengalaman bangsa Israel menjadi tanda bagi bangsa-bangsa lain untuk menghayati kehidupan sehari-hari sebagai peristiwa keselamatan yang dilakukan oleh Allah sendiri. Iman bangsa Israel dengan demikian memberikan kesaksian kepada dunia tentang Allah yang menyelamatkan semua umat manusia. Keselamatan itu dengan demikian tidak terbatas pada bangsa Israel, melainkan berlaku secara universal. Bangsa Israel dalam hal ini adalah contoh sekaligus tanda bagiamana Allah mau menyelamatkan umat manusia tanpa terkecuali.
Kedua, misi dalam Perjanjian Baru. Yesus Kristus tidak pernah secara eksplisit mendirikan Gereja. Tentang Misiologi Kristiani dengan demikian hanya dapat dibicarakan dalam pengertian "eklesiologi implisit". Meskipun demikian, tema sentral Perjanjian Baru tidak lain adalah tentang perutusan. Perutusan yang dimaksudkan di sini merujuk  baik pada perutusan Yesus Kristus ke dunia maupun pertusan Yesus kepada para murid-Nya kepada bangsa-bangsa lain sebelum dan setelah kebangkitan-Nya. Boleh dikata, seluruh isi Kitab Suci Perjanjian Baru ialah "Karya Sastra" atau "dokumen" tentang misi".
Bagi pengarang Injil Markus, misi begitu mendesak lantaran mengajak orang untuk percaya dan bertobat (Mrk 6,12; 16,16; bdk. Mrk 1,15b). Dalam Matius, misi tidak lain adalah usaha pewartaan yang punya daya mempertobatkan. Misi dalam Markus dapat dipahami sebagai "latihan" bagi para murid untuk kemudia mewartakan karunia keselamatan kepada bangsa-bangsa lain setelah kebangkitan Kristus (bdk. Mrk 13,10; 14:9; 16,15). Pengarang Injil Matius memahami  misi sebagai usaha untuk menjadikan semua bangsa menjadi murid Kristus. Bagi pengaring Injil Matius, zaman Gereja adalah zaman di mana gerak Injil bergerak dari Israel menuju ke bangsa-bangsa di luar Israel. Masa itu tidak lain adalah masa setelah kebangkitan hingga zaman sekarang (bdk Mrk 9,9; 13;10; 14,9; 16,15).
Sebagaimana pengarang Injil lainnya, Lukas dan Kisah Para Rasul juga melihat kedatangan Yesus pertama-tama untuk menyelamatkan bangsa Yahudi, meskipun pada hakikatnya keselamatan-Nya bersifat universal. Namun demikian, Lukas tetap menyadari bahwa kedatangan Yesus ke tengah bangsa Yahudi tidak lain adalah bagian dari persiapan para murid untuk mewartakan keselaman-Nya ke tengah bangsa kafir setelah peristiwa kebangkitan  ( Luk 4, 25; 24, 1; Kis 1,8 dst.). Dengan kata lain, Lukas memahami misi sebagai tugas perutusan untuk memberikan kesaksian tentang peribadatan dan pengampunan dosa (Luk 24, 27; bdk Kis 2, 38) demi keselamatan (2, 40). Sedangkan penginjil Yohanes memahami misi sebagai kedatangan Yesus ke tengah dunia dan dengan demikian Ia juga mengutus para murid-Nya ke tengah dunia. Yesus memang bukan dari dunia tetapi Dia adalah Juru selamat dunia (bdk. Yoh 4, 42).
Tokoh Perjanjian Baru yang mulai mengadakan misi ke tengah-tengah bangsa di luar Yahudi ialah Paulus. Paulus bahkan berani mewartakan iman Kristiani di tengah orang-orang Yunani. Dalam arti tertentu, Paulus telah mulai melakukan metode inkulturasi untuk kepentingan misi Krsitiani. Di atas semua itu, dalam Kitab Suci terdapat banyak Sabda Yesus sendiri yang mendorong para murid-Nya untuk bermisi, baik itu sebelum kebangkitan maupun sesudah kebangkitan. Inti misi dalam seluruh Kitab Suci tidak lain adalah usaha memperkenalkan Allah yang menyelamatkan di tengah umat manusia. satu-satunya tokoh yang mengutus tidak  lain adalah Allah sendiri.
Misi dalam Dokumen-Dokumen Gereja
Pertama, Maximum Illud. Dokumen ini dikeluarkan oleh Paus Benediktus XV pada 30 November 1919. Ensiklik ini menekankan agar para misionaris memiliki kesadaran bahwa mereka adalah duta Kristus dan bukan utusan dari negara mereka. Karena itu, kehidupan mereka harus menjadi khotbah yang hidup mngenai hidup iman Kristen dan universalitas agama Kristen. Ada tiga tujuan pokok misi menurut Maximum Illud, yakni penyebaran iman, pendirian Gereja, dan perluasan Kerajaan Allah.
Kedua, Rerum Ecclesiae. Dokumen ini dikeluarkan oleh Paus Pius ke XI pada tanggal 28 Februari 1926. Ensiklik ini menegaskan bahwa misi Kristiani tidak lain adalah aktifitas misioner, di mana iman Katolik di sebarkan, Gereja didirikan, dan manusia diselamatkan. Sebab, masih ada sekian banyak orang yang berada jauh dan di luar Gereja, yang duduk dalam kegelapan dan bayangan maut. Hal lain yang diusung oleh ensiklik ini ialah pengetahuan mngenai kebudayaan di mana misi itu berlangsung. Hal ini perlu agar iman Kristiani dapat dibahasakan secara kontekstual.
Ketiga, Evangelii Praecones. Ensiklik ini dikeluarkan oleh Paus Pius XII yang dikeluarkan pada 2 Juni 1951. Ensiklik ini menegaskan mengembang tugas perluasan Kerajaan Allah. Karena itu, kaum awam oun dengan bermacam-macam kegiatan mengusahakan tercapainya tujuan karya misi ini. Dengan pertama-tama menghargai kebudayaan asli setempat, kultur Kristiani datang untuk melengkapi kebudayaan setempat dan menjadikannya luhur.
Masih banyak dokumen-dokumen sebelum Konsili Vatikan II yang membahas tentang misi Kristiani seperti, Ad Sinarum Gentem (Paus Pius XII, 7 Oktober 1955), Fidei Donum (Pius XII, 21 April 1957), Ad Apostolorum Principiis (Pius XII, 29 Juni 1958), dan Princeps Pastorum (Yohanes XXIII, 28 November 1959). Semua dokumen ini berisi uraian tentang misi Kristiani yang tidak lain adalah usaha menghadirkan Allah yang menyelamatkan semua umat manusia.
 Misi dalam Konsili Vatikan II