Lalu, sejak kapan hermeneutik menjadi problem filosofis? Kita patut berterima kasih kepada para pemikir renaisans di abad ke-18 yang telah mengeluarkan aktivitas hermeunetis dari kerangkeng keagamaan abad pertengahan. Jika para rohaniwan abad pertengahan membatasi hermeunetik pada aktivitas interpretasi atas kitab suci, maka para pemikir pencerahan memperluas wilayah interpretasi ke teks-teks profan. Para pemikir pencerahan bahkan memandang kitab suci sama seperti teks-teks profan lainnya. Dalam kepala para pemikir pencerahan, teks suci tidak lebih istimewa dari teks-teks lain.Â
Para pemikir pencerahan mencabut sakralitas dari kitab-kitab yang dianggap suci oleh para rohaniwan abad pertengahan. Para pemikir pencerahan ingin melampaui cara-cara radikal abad pertengahan dalam menafsir sebuah teks. Dengan kata lain, mereka menggunakan rasionalitas -tanpa terdorong untuk meneguhkan iman - dalam rangka menangkap makna di balik teks-teks suci. Hal itulah yang akan dilakukan oleh Schleiermacher.
Seni Memahami a la Schleiermacher
Kita pertama-tama mengerti apa yang dimaksud Schleiermacher dengan istilah "memahami" (verstehen). Menurut Schleiermacher, memahami tidak lain adalah aktivitas menangkap pehamanan (verständis). Sementara pemahaman adalah hasil dari proses memahami. Obyek aktivitas memahami a la Schleiermacher tidak lain adalah bahasa. Namun perlu diketahui bahwa apa yang ditangkap dari bahasa bukan kata sejauh kata atau kalimat sejauh kalimat. Di dalam kehidupan sehari-hari kita sering kali berusaha menangkap maksud di balik kata-kata orang yang sedang berbicara kepada kita. Sebab bagi Schleiermacher, kata yang diucapkan tidak pernah terpisah dari pemikiran sang penuturnya.
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa manusia tidak berpikir tentang hal yang sama, meski memakai kata yang sama. Â Seorang filsuf dan dokter sama-sama menggunakan kata "manusia" tetapi cara pandang keduanya atas satu kata ini tentu saja berbeda dan bahkan bertentangan. Memahami dalam Schleiermacher dengan demikian adalah aktivitas menangkap apa yang dipikirkan ketimbang makna gramatikal dari bahasa yang sedang diucapkan oleh si penutur. Oleh karena itu, kita perlu membedakan antara "memahami apa yang dikatakan dalam konteks bahasa dengan kemungkinan-kemungkinannya" dan "memahami (apa yang dikatakan itu) sebagai sebuah fakta di dalam pemikiran si penuturnya".
Hermeneutik a la Schleiermacher justru berusaha menangkap apa yang dipahami penutur atas kata yang sedang diucapkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai kesenjangan antara teks dengan maksud teks, antara kata dengan pemikiran penutur kata dan antara teks dan maksud penulis. Kesenjangan ini cenderung menimbulkan kesalahpahaman. Keasalahpahaman kemudian berpotensi menimbulkan konflik rasial, sosial, religius dst.
Lalu mengapa memahami a la Schleiermacher dianggap sebagai sebuah seni (kunst)? Untuk memahami istilah ini, kita pertama-tama perlu membedakan dua jenis memahami, yakni: "memahami secara spontan dan memahami dengan usaha". Memahami secara spontan dapat dirasakan dalam kehiduapan kita setiap hari. Kita akan dengan mudah memahami kata-kata orang tua kita, karena kita lahir dan hidup di lingkungan sosial, kultural dan religius yang sama. Dalam konteks ini, kita saling memahami secara spontan.
Namun, Schleiermacher tidak mengembangkan hermeneutik yang demikian. Titik tolak hermeneutik a la Schleiermacher tidak lain adalah kesalahpahaman atau ketidak-salingpahaman. Bagi Schleiermacher, kesalahpahaman menjadi ciri-ciri masyarakat modern. Modernitas yang ditandai dengan kemajemukan cara berpikir, cara hidup, keyakinan religius, keyakinan filosofis dan kemajemukan ideologis, rentan akan terjadinya kesalahpahaman. Atau dalam bahasa Schleiermacher, "di zaman modern, kesalahpahaman sudah menjadi barang tentu". Kesalahpahaman sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan di zaman modern.
Lebih lanjut Schleiermacher menandaskan bahwa kesalahpahaman sering kali disebabkan oleh prasangka (vorurteil). Prasangka terjadi ketika pembaca atau pendengar merasa perspektifnya superior atas maksud penulis atau penutur kata. Oleh karena itu, memahami dalam hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah seni karena dua hal: Pertama, karena usaha mengatasai kesalahpahaman umum itu selalu dengan metode yang "canggih" dan tidak secara spontan saja. Kedua, karena mengatasi kesalahpahaman umum selalu dilakukan dengan kaidah-kaidah tertentu. Seni dalam hal ini diartikan sebagai 'kepandaian'. Hal ini sama halnya ketika seniman musik menghasilkan harmoniasasi nada yang indah.
Seni memahami dengan demikian adalah aktivitas menangkap makna (dengan metode canggih) untuk mengatasi kesalahpahaman umum. Yang dicari adalah pemikiran di balik sebuah ungkapan. Dalam arti ini, hermeneutik tidak lain adalah seni mendengarkan daripada seni berbicara, seni membaca ketimbang seni menulis. Schleiermacher menegaskan bahwa hermeneutik tidak lain adalah seni berpikir dan oleh karena itu bersifat filosofis.
Dengan cara berpikir seperti itu, Schleiermacher menjadikan hermeneutik sebagai metode dalam rangka menangkap makna di balik tuturan atau tulisan. Pemakaian metodologi hermeneutisnya tidak terbatas pada teks-teks khusus. Baginya, semua teks, baik tuturan maupun tulisan bisa diinterpretasi secara sama. Bahkan, interpretasi sudah menjadi kemampuan yang dimiliki oleh setiap manusia.