Saat-saat rekoleksi persiapan Misi Umat Vinsensian di Frigen, saya gunakan sungguh-sungguh untuk mematangkan mental dalam  mengahadapi tugas ini. Perlu diketahui, kecemasan saya muncul pertama-tama, karena memang tugas yang dipercayakan kepada saya ini sama sekali tidak sesuai dengan tipe kepribadian saya.Â
Bayangkan saja, saya yang senang santai, cenderung menunda-nunda pekerjaan dan kurang percaya diri, malah diberi tugas untuk membaca sembilan modul sekaligus. Modul-modul tersebut kemudian dipresentasikan di depan orang banyak. Lalu, yang lebih parah lagi, saya harus bisa menyanyi dan menari di depan orang banyak.Â
Kemudian salah satu tugas yang juga menantang saya adalah mendekati anak-anak. Sungguh pekerjaan yang sama sekali tidak saya harapkan. Â Bayangkan saja, seorang yang sangat kaku dalam bergaul, malah diberi tugas untuk bertingkah seperti anak kecil. Bagi saya, itu tantangan yang sungguh menyakitkan. Â Setelah saya dimotivasi oleh anggota tim, diberi kepercayaan, akhirnya saya pun perlahan memberanikan diri untuk menjalankan tugas ini. Meskipun, saya sering merasa terlalu memaksa diri.
Praktis, di dua hari pertama, partisipasi saya dalam tim sangatlah minim. Kalau tidak salah ingat, di dua pertemuan pertama, saya diberi tugas untuk menganimasi peserta pertemuan. Saya belum mampu menjalankan tugas ini dengan baik. Sekali lagi, itu terjadi karena alasan mental. Saya belum cukup percaya diri untuk menjalankan tugas ini dengan baik.Â
Di hari ketiga, kepercayaan diri saya mulai muncul. Kepercayaan diri ini muncul, setelah saya diberi tugas untuk menyampaikan renungan kepada para legioner senior. Legioner adalah salah satu kelompok kategorial dalam Gereja Katolik yang secara khusus berdevosi kepada Bunda Maria.
Sejak saat itu, saya mulai mulai menjalankan tugas saya dengan baik. Selain tugas-tugas praktis, saya juga diberi tugas untuk membuat laporan pertemuan. Ada dua laporan pertemuan yang dikerjakan oleh saya, yakni pertemuan dengan legio Junior dan legio senior.
Biasanya, saya mengerjakan sesuatu dengan prinsip minimalis, asal selesai. Hal ini tampak saat saya mengerjakan tugas kuliah. Saya berprinsip: asal lulus saja sudah cukup. Sebenarnya, saya bisa berbuat lebih atau mendapatkan hasil yang lebih. Namun, karena sudah terbiasa bermalas-malasan dan tidak mau bekerja keras, saya sering kali mendapatkan hasil yang tidak terlalu memuaskan.
Pengalaman bermisi semacam ini setidaknya telah mendidik saya untuk berusaha keluar dari kecenderungan bermalas-malasan. Pengalaman bermisi kemudian menyadarkan saya bahwa menjadi seorang misionaris tidaklah mudah. Seorang misionaris harus mampu bekerja keras, pandai mengatur waktu dengan baik, dan yang paling penting ialah ia harus mau mengorbankan dirinya untuk perkara Allah.
Akhirnya, pengalaman bermisi bagi saya adalah saat di mana saya 'dipaksa' untuk bekerja keras. 'Dipaksa' di sini saya artikan sebagai istilah yang positif. Misi Umat Vinsensian telah 'memaksa' saya untuk keluar dari zona nyaman. Saya 'dipaksa' oleh Tuhan sendiri untuk menyampaikan cinta-Nya kepada umat di Pandaan.
Santo Montfort pernah berujar, "Bila kita tidak mengambil resiko untuk Tuhan, berarti kita tidak melakukan sesuatu yang berarti bagi Tuhan". Misi Umat Vinsensian telah membantu saya untuk belajar mengambil resiko demi Tuhan. Pengalaman bermisi tidak lain adalah momen di mana saya belajar mengorbankan kesenangan pribadi demi sesuatu yang lebih penting. Meskipun saya sudah memilih cara hidup yang lain, pengalaman bermisi masih berharga dalam konteks hidup saya sebagai pemuda Katolik.
Oleh: Venan Jalang