Beberapa orang menganalogikan kehidupan dengan 'panggung sandiwara'. Analogi demikian biasanya keluar dari kepala orang-orang beragama. Orang-orang beragama meyakini bahwa kehidupan sejati bukan yang terjadi 'di sini' dan 'sekarang'. Sebaliknya, mereka punya keyakinan bahwa kehidupan yang sejati hanya terjadi di dunia 'nanti' atau 'yang setelah ini'. Kehidupan 'yang setelah ini' biasanya dinamai dengan istilah: 'surga', 'nirwana', 'taman firdaus' dst.
Terlepas dari distingsi dunia 'yang sekarang' dan 'nanti', harus diakui bahwa yang kita sedang alami sekarang adalah suka-duka di dunia 'sini' dan 'sekarang' (hic et nunc). Kita semua sedang bergumul di kehidupan 'sekarang' dengan segala persoalannya. Kita sedang berada di dunia yang sering kali menghadirkan peristiwa sedih sekaligus bahagia. Kita pernah berdecak kagum karena kemajuan teknologi, dan pada saat yang sama, kita juga sedih akibat perang saudara. Itulah yang sedang kita alami sekarang! Kita seperti 'terlempar' begitu saja ke dunia 'sini' tanpa pernah diberi kesempatan untuk memilih dilahirkan dari rahim yang mana.
Saya sendiri tidak terlalu tertarik menguraikan sebuah argumentasi apriori tentang dunia 'nanti'. Saya justru lebih tertarik merefleksikan tentang pergulatan hidup di dunia yang sedang kita alami 'di sini' dan 'sekarang'. Ada begitu banyak peristiwa mengejutkan di dunia 'sini' yang perlu direnungkan, ketimbang berspekulasi tentang dunia 'sana' yang belum kita alami.
Di dunia 'yang sekarang', kita juga malah menghadapi problem yang 'sejati' dan 'palsu'. "Analogi Aktor Sirkus " justru hendak menjelaskan hal tersebut. Seorang aktor biasanya bekerja untuk menghibur penonton. Namun, sering kali para aktor malah kesulitan menghibur diri mereka sendiri. Mereka pandai membuat pemirsa tertawa tetapi tidak mampu membuat diri mereka sendiri bahagia. Mereka hebat dalam melakoni drama, tetapi payah dalam mengatasi kesepian sendiri. Mereka tampil ceria di panggung, tetapi sering kali terpuruk di kamar pribadi.
Lagu dari Skinnyfabs - yang berjudul "Circus" - mungkin ungkapan paling jujur dari seorang yang sedang mengalami persoalan mental seperti ini. Beberapa bagian dari lirik lagu tersebut berbunyi demikian: "In other hand, I've never wanted to confess that I'm sad 'Cause I'm a clown and my job is to make people happy. You know that I like to laugh, I like to make people laugh. But the problem is why I cannot do that to myself". Kita tidak bisa menyangkal kalau beberapa orang di sekitar kita sedang mengalami persoalan psikologis seperti ini. Kita sering kali berhadapan dengan pilihan dilematis antara menjadi diri sendiri atau menjadi seperti yang dituntut lingkungan pertemanan atau pekerjaan. Kesejatian dan kepalsuan selalu menjadi dua pilihan yang dihadapkan kepada kita.
Beberapa orang mengalami dilema antara tuntutan pekerjaan dengan kondisi riil mentalnya. Pekerjaan menuntut mereka untuk selalu tampil bahagia dan ceria, meskipun mereka sedang terluka. Pekerjaan menuntut mereka untuk menipu, meskipun hati nurani mengatakan jangan. Pengalaman seperti ini membuat orang-orang tertentu mengalami frustrasi dan depresi berkepanjangan. Beberapa orang melarikan diri dari kesepian dengan mengkonsumsi narkoba dan bahkan bunuh diri. Beberapa  public figure yang bergelimang harta malah mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Dari orang-orang ini kita belajar bahwa materi dan popularitas sama sekali tidak menjamin kebahagiaan. Kebahagiaan ternyata tidak bisa dibeli dengan uang, boss!
Saya tidak mengatakan bahwa kalau kaya dan terkenal otomatis tidak bahagia. Masih banyak orang-orang terkenal dan kaya yang bahagia. Tetapi, saya hanya mau menekankan bahwa yang membuat kita bahagia bukan pertama-tama kekayaan dan popularitas. Aristoteles mendefinisikan kebahagian sebagai aktivitas melakukan keutamaan (virtues). Bagi Aristoteles, kebahagiaan itu bukan sebuah prestasi nanti di 'surga', 'nirwana' atau 'taman firdaus'. Aristoteles memahami kebahagiaan sebagai aktivitas keseharian hidup 'di sini' dan 'sekarang' (hic et nunc). Kebahagiaan bagi Aristoteles dialami ketika kita melakukan aktivitas keutamaan, misalnya: ketika saya memberikan bantuan kepada sahabat yang sedang membutuhkan bantuan. Kebahagiaan a la Aristotelian tertetak pada aktivitas menolong, membantu, mencintai, menghibur dengan tulus tanpa kepentingan selfish.
Â
Dari Aristoteles kita mengerti bahwa kebahagiaan bukan sebuah prestasi dan imbalan yang dialami nanti. Kebahagiaan bukan yang tampak pada senyum lebar dan ketawa lepas di tempat tongkrongan. Kebahagiaan adalah pengalaman saat anda mencintai dengan tulus dan memberi tanpa pamrih. Menolong orang yang sedang butuh bantuan tentu saja sebuah pengalaman yang membahagiakan. Keceriaan Sule di acara Talk Show sama sekali tidak mewakili kondisi mentalnya. Kita sendiri tentu saja tahu, Sule yang ceria di TV malah ditinggal pergi oleh istrinya. Sule adalah salah satu contoh aktor yang piawai menjadi orang lain di dunia maya dan malah terpuruk di real life.
Kita tidak boleh tertipu oleh keceriaan teman di tempat tongkrongan. Kita tidak boleh menilai kebahagiaan seseorang dari postingan foto selfie dengan senyum lebar di instastory. Orang-orang yang biasanya mengumbar keceriaan dan kebahagiaan di sosmed sebetulnya adalah orang-orang paling kesepian di dunia ini. Di tempat tongkrongan, mereka biasanya hadir sebagai teman yang paling ceria, tetapi sebetulnya itu cara mereka untuk mengelabui orang-orang tentang luka batin yang sedang mereka alami. Mereka tidak sedang melakoni sinetron, tetapi pandai menjadi aktor drama. Mereka tampak happy dari luar, tetapi terpuruk di dalam. Mereka sebetulnya orang-orang baik, hanya saja enggan dinilai tidak bahagia.
Ada banyak youtuber yang membuat video sharing tentang pengalaman depresi yang mereka alami. Salah satu curhatan yang bagi saya paling jujur dan tanpa ada upaya menarik subscriber adalah milik Andovi da Lopez. Saya suka dengan konten youtube orang ini. Selain karena cerdas, dia juga salah satu youtuber Indonesia yang konsisten memerangi youtuber yang membodohi pemirsa di rumah. Dalam salah satu video yang berjudul: "Andovi talks about his Mental Health and the state of Mental Health in Indonesia", beliau membagikan pengalaman kesepian yang sering kali tak beralasan. Ia tidak kekurangan uang, kecerdasan, materi, popularitas, kekasih yang baik dan keluarga yang harmonis, tetapi ia malah mengalami kesepian. Ia mengelabui kesedihannya dengan tampil ceria di hadapan teman-temannya. Ia bingung kepada siapa ia harus menceritakan persoalannya tersebut. Dan, ia kemudian berani membuat video sharing di youtube tentang pengalamannya tersebut tepat di hari ulang tahunnya.
Teman-teman yang sedang membaca tulisan ini mungkin pernah atau sedang mengalami persoalan mental seperti ini. Kalian punya sahabat yang baik dan tidak kekurangan uang, namun kalian tetap mengalami kesepian. Kalian berada di tengah keramaian,  tetapi tetap merasa ada yang kurang. Teman-teman kalian membuat surprise heboh di hari ulang tahun kalian, tetapi kalian tetap merasa tidak ada yang istimewa. Mood kalian tidak berubah oleh suasana di sekitar kalian. Demi ikut rame-rame, kalian pun kemudian memaksa diri untuk tampil ceria, meskipun tidak sesuai dengan suasana batin kalian. Ini dilema batin yang bagi saya sangat menyakitkan. Kalian kemudian tampil seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kita seperti badut yang rela menghibur penonton, meskipun kita sendiri sedang butuh hiburan.
Kita semua tentu saja pernah melihat tingkah badut, baik secara langsung maupun melalui siaran TV.  Dalam sejarah, badut biasanya bertugas untuk menghibur orang-orang kaya yang stres. Orang-orang kaya mudah membeli badut untuk melarikan diri dari kesepian yang mengamuk. Sebaliknya, badut yang pandai membuat orang kaya tertawa, malah kesulitan mencari hiburan. Badut tidak mungkin dihibur oleh badut. Kita kemudian paham bahwa orang-orang yang pandai melawak selalu punya masa lalu yang piluh. Ada beberapa public figure yang mengatasi kesepian dengan maniak dalam berkarya. Pada saat yang sama, ada pula yang lari dari pengalaman depresi dengan cara bunuh diri.