Mohon tunggu...
Vemi Nabila Wibisono
Vemi Nabila Wibisono Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Pecinta makanan yang memiliki kandungan Mono Sodium Glutamat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Memaknai Autism Awareness Day, Apakah Dunia Sudah Adil bagi Penyandang Autisme?

2 April 2020   23:46 Diperbarui: 2 April 2022   06:33 2730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menyendiri. (sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)

Pada awal tahun ini kita telah dikejutkan oleh berbagai peristiwa di dunia ini. Dimulai dari permasalahan politik, hingga ke permasalahan yang saat ini menyangkut hajat hidup orang banyak, yaitu masalah datangnya invansi COVID-19 ke hampir seluruh negara di dunia ini, termasuk juga Indonesia. 

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa nyaris seluruh orang tidak dapat memalingkan mata serta pikirannya terhadap isu-isu lainnya, melihat hingga saat ini kita belum melihat "solusi" untuk menangani virus ini. Maka saya juga tak akan heran jika hari ini, tanggal 2 April 2020 tidak dimaknai sebagai suatu hari yang spesial oleh orang-orang.

Tepat pada tanggal 2 April 2020 merupakan Hari Kesadaran Autisme Sedunia atau World Autism Awareness Day. Perayaan ini telah ditetapkan sesuai dengan deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusi PBB No. 62/139 pada 18 Desember 2007, maka tanggal 2 April ditetapkan menjadi momen perayaan World Autism Awareness Day. 

Mereka juga memiliki agenda untuk menjadikan disabilitas sebagai hal yang dapat diterima dan menjadi bagian yang penting dalam kehidupan bermasyarakat.[1] 

Seandainya tepat pada hari ini juga wabah Corona menghilang dari muka bumi ini, saya yakin betul tiap-tiap lembaga yang bergerak dalam bidang ini pasti akan turut merayakannya dengan mengampanyekan bahwa betapa pentingnya untuk peduli dan memiliki kesadaran untuk memperlakukan penyandang autis dengan adil tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. 

Berbicara mengenai ketidakadilan dan diskriminasi, kedua hal tersebut termasuk hal-hal yang umum saya jumpai sebagai seorang figur kakak dari adiknya yang beruntung terpilih menjadi salah satu penyandang autisme dari sekian anak-anak yang ditakdirkan normal lainnya. Adik saya merupakan penyandang autisme sejak ia lahir. 

Jarak umur kita bahkan hanya terpaut dua tahun, jika saya sekarang berumur 20 tahun, maka adik saya saat ini sudah berumur 19 tahun. Sebagai seorang kakak, saya melihat banyak hal yang mungkin terlihat biasa saja di mata orang lain.

Namun, menjadi sangat luar biasa di mata saya sendiri khususnya ibu saya yang paling tulus menyayangi anak-anaknya. Hal-hal tersebut saya sebut sebagai ketidakadilan dan diskriminasi yang diarahkan kepada adik saya yang pada akhirnya juga berujung kepada keluarga inti saya.

Terkadang seringkali terlintas di benak saya, apa yang dirasakan adik saya jika diperlakukan seperti ini? ia memang penyandang autisme, dan bodohnya saya selalu mengira jika adik saya tidak memedulikan hal-hal seperti ini. Namun lambat laun saya semakin mengerti, lebih tepatnya saya mencoba untuk memahami apa yang adik saya rasakan. 

Terlepas dari autis yang ia derita, masyarakat perlu paham bahwa mereka sama seperti kita, mereka juga memiliki perasaan. Saya rasa hal sefundamental ini perlu ditanamkan ke dalam sanubari mereka masing-masing.

Bahkan untuk membangkitkan kesadaran seperti ini saja saya rasa juga tidaklah mudah. Saya sendiri pribadi merasa butuh waktu bertahun-tahun lamanya untuk menerima kondisi adik saya dengan seikhlas-ikhlasnya, meskipun saya adalah bagian dari keluarga intinya.

Kembali lagi ke masalah perasaan, adik saya juga memiliki perasaan yang sama seperti kalian para anak-anak yang terlahir normal. Ia memiliki keinginan yang kuat untuk berkuliah, karena ia melihat saya berkuliah dan mendapatkan teman di sana. 

Adik saya memang tidak suka belajar, tapi dia sangat suka berteman, lucunya adik saya lebih suka berteman dengan anak-anak normal ketimbang yang sama-sama menyandang autisme seperti dia. 

Namun dunia justru menghancurkan ekspektasi adik saya, berkali-kali adik saya ditolak di kampus-kampus yang menyediakan layanan pembelajaran untuk penyandang autisme, pun jika memang ada kampus yang dapat "menerima" keadaan adik saya, mungkin kali ini justru dompet akan berkata sebaliknya. 

Pada masa SMA-nya sebelum adik saya lulus, ia memiliki banyak teman, meskipun teman-temannya juga gemar menjahilinya, namun adik saya adalah adik yang sangat pemberani, teman-temannya jutru akan ia jahili balik.

Pada akhirnya saya sadar bahwa adik saya dengan kondisinya yang seperti ini meskipun ia sulit diterima di lingkungannya, namun tanpa disadari lingkungan tersebut mulai dapat menerima kondisi adik saya dikarenakan usaha yang dilakukan oleh adik saya sendiri.

Begitulah awalan sepenggal kisah dari adik saya sebagai penyandang autime yang sangat luar biasa. Lalu masuk ke pertanyaan inti yang ingin saya bahas di tulisan ini, yaitu sudahkah dunia ini adil bagi penyandang autisme? Pertanyaan yang cukup berat, karena hal ini mencakup tatanan sosial di dalam masyarakat. 

Masyarakat sendiri dapat saya katakan sebagai representasi dari dunia yang saya maksud. Jadi lebih tepatnya, apakah masyarakat saat ini sudah memperlakukan penyandang autisme dengan adil? Saya sendiri merenungkan hal ini cukup lama sambil berusaha memikirkan apa yang dirasakan oleh adik saya. 

Pada akhirnya saya mencapai kesimpulan dari proses dialektika saya, yaitu tentu saja belum. Saya rasa saya tidak perlu menorehkan data atau fakta ilmiah untuk mengatakan "belum" dalam argumen saya sendiri, karena saya melandasi tulisan ini murni dengan pengalaman saya sebagai kakak dari penyandang autisme.

Terkadang berusaha untuk menahan perasaan kecewa saya sendiri, menahan perasaan yang saya rasa dapat memperburuk hati saya sendiri, jika memikirkan bagaimana masyarakat memperlakukan penyandang autisme khususnya adik saya sendiri.

Saya sendiri diajarkan untuk berani oleh ibu saya dengan membawa adik saya jalan-jalan ke supermarket di dekat rumah saya, hal tersebut saya pikir awalnya biasa saja, sampai akhirnya saya dilepas hanya berdua dengan adik saya yang mengoceh sendiri asik dengan dunianya sambil menggunakan headset untuk menghalangi kebisingan di luar sana sebagai pelengkap dunianya. 

Rasanya benar-benar perlu keberanian yang besar, saya awalnya hanya berasumsi jika para pengunjung di sana menatap dengan tatapan tidak mengenakan terhadap kami, sampai pada akhirnya saya membuktikannya dengan melihatnya satu persatu. Saya menyesal telah membuktikannya, karena nyatanya benar adanya. 

Ketimbang membuat saya berani dan kuat, hal seperti ini hanya tambah membuat hati saya semakin tidak tenang. Semenjak peristiwa sepele tersebut, saya memutuskan untuk tidak pernah melihat hal di sekeliling saya.

Karena adik saya saja bisa menciptakan dunianya sendiri, saya juga akan menciptakan dunia saya dimana hanya ada saya dan adik saya yang ingin belanja kebutuhan pokok.

Tidak hanya sampai ini, puncaknya adalah ketika adik saya didiskriminasi dengan disebut sebagai orang gila atau orang tidak waras oleh orang lain. Entah maksudnnya apa, saya paham kehadiran adik saya memang mengganggu anda, namun percayalah apa yang dilakukan oleh adik saya sesungguhnya bukanlah yang ia ingin lakukan. 

Saya harap masyarakat saat ini memiliki pemahaman seperti itu dulu saja. Bahwa penyandang autisme memiliki perasaan, dia ingin memiliki eksistensi (meskipun di dalam dunianya sendiri), ia ingin disayangi, ia ingin diperlakukan dengan adil dan tidak diskriminatif, ia bisa sedih, marah, dan bahagia. 

Setidaknya jika anda butuh waktu untuk memahami hal-hal ini, tolong hargai keberadaan mereka, jangan memandang mereka dengan sebelah mata, memandang mereka berada di bawah kalian hanya karena mereka adalah penyandang autisme.

Saya paham, semuanya butuh waktu untuk membiasakan diri, saya akan sangat menghargai jika anda memang ingin belajar hal-hal fundamental seperti ini. 

Jika ketidakadilan dan diskriminasi semakin menghantam penyandang autisme, maka tidak hanya mereka yang tersakiti, namun juga keluarga terutama ibunya yang telah berjuang untuk melahirkan serta merawat mereka. Akhir kata, saya ucapkan selamat hari kesadaran autisme sedunia ditengah pandemi COVID-19 ini. 

Dan siapa yang menaruh bawang di sini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun