Ketimbang membuat saya berani dan kuat, hal seperti ini hanya tambah membuat hati saya semakin tidak tenang. Semenjak peristiwa sepele tersebut, saya memutuskan untuk tidak pernah melihat hal di sekeliling saya.
Karena adik saya saja bisa menciptakan dunianya sendiri, saya juga akan menciptakan dunia saya dimana hanya ada saya dan adik saya yang ingin belanja kebutuhan pokok.
Tidak hanya sampai ini, puncaknya adalah ketika adik saya didiskriminasi dengan disebut sebagai orang gila atau orang tidak waras oleh orang lain. Entah maksudnnya apa, saya paham kehadiran adik saya memang mengganggu anda, namun percayalah apa yang dilakukan oleh adik saya sesungguhnya bukanlah yang ia ingin lakukan.Â
Saya harap masyarakat saat ini memiliki pemahaman seperti itu dulu saja. Bahwa penyandang autisme memiliki perasaan, dia ingin memiliki eksistensi (meskipun di dalam dunianya sendiri), ia ingin disayangi, ia ingin diperlakukan dengan adil dan tidak diskriminatif, ia bisa sedih, marah, dan bahagia.Â
Setidaknya jika anda butuh waktu untuk memahami hal-hal ini, tolong hargai keberadaan mereka, jangan memandang mereka dengan sebelah mata, memandang mereka berada di bawah kalian hanya karena mereka adalah penyandang autisme.
Saya paham, semuanya butuh waktu untuk membiasakan diri, saya akan sangat menghargai jika anda memang ingin belajar hal-hal fundamental seperti ini.Â
Jika ketidakadilan dan diskriminasi semakin menghantam penyandang autisme, maka tidak hanya mereka yang tersakiti, namun juga keluarga terutama ibunya yang telah berjuang untuk melahirkan serta merawat mereka. Akhir kata, saya ucapkan selamat hari kesadaran autisme sedunia ditengah pandemi COVID-19 ini.Â
Dan siapa yang menaruh bawang di sini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H